Menyoal KA Babaranjang Bikin Macet Bandarlampung

id Menyoal KA Babaranjang, KA Babaranjang Bikin Macet, KA Babaranjang

Menyoal KA Babaranjang Bikin Macet Bandarlampung

Diskusi Menyoal KA Babaranjang dan Solusinya, di Bandarlampung, Jumat (17/2). (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Keberadaan kereta api batu bara rangkaian panjang (KA babaranjang) melewati jalur lintasan KA terutama di Kota Bandarlampung dituding menjadi penyebab kemacetan arus lalu lintas.

Tiap saat secara rutin KA Babaranjang pengangkut batu bara dari Muaraenim, Sumatera Selatan melalui jalur KA ke Pelabuhan Tarahan, Bandarlampung, dan harus pula melintas jalan-jalan kawasan perkotaan di Bandarlampung terutama pada jam sibuk, sehingga dipastikan kemacetan panjang kendaraan terjadi.

Wali Kota Bandarlampung Herman HN menyatakan, keberadaan KA babaranjang yang dioperasikan kerja sama PT Kereta Api Indonesia dan PT Bukit Asam (BA) itu memberi dampak buruk, yaitu menyusahkan karena menimbulkan kemacetan di jalan-jalan Kota Tapis Berseri ini.

Herman HN saat menghadiri Diskusi Sehari KA Babaranjang "Menakar Kepentingan Korporasi BUMN untuk Kenyamanan Masyarakat Bandarlampung" yang digelar di Kantor Perwakilan Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI Lampung, Jalan Jenderal Sudirman, Bandarlampung, Jumat (17/2), mengungkapkan dampak buruk keberadaan KA babaranjang tersebut.

"Setiap 15 menit `kan lewat KA babaranjang. Bikin macet. Masyarakat di Bandarlampung dibuat jadi susah," kata Herman dalam forum yang juga dihadiri pihak PT BA dan perwakilan PT KAI Divisi Regional IV Tanjungkarang.

Padahal kontribusi perusahaan terkait pengangkutan baru bara itu bagi warga Bandarlampung dinilai masih minim.

Herman mengungkapkan, sejak dirinya menjabat Wali Kota Bandarlampung, PT KAI baru memberi bantuan gerobak sampah dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan PT BA memberi bantuan truk sampah seharga sekitar Rp300 juta dan gerbang masuk Kota Bandarlampung sekitar Rp1 miliar.

"Selaku Wali Kota, saya tidak mengemis, tetapi perusahaan ini telah menyengsarakan rakyat Bandarlampung. "Jika kereta api babaranjang itu lewat para pelajar yang akan pergi ke sekolah bisa tertahan lama, seharusnya dibuat underpass atau fly over. Perusahaan harus memperhatikan CSR. Tapi, keluhan masyarakat itu tak digubris, tidak dipedulikan dan tidak ada sumbangsih. Bayangkan, saya jadi Wali Kota sejak 2010, tapi PT KAI hanya memberikan paling 3 sampai 5 gerobak sampah saja," ujar Herman lagi.

Ketua DPRD Bandarlampung Wiyadi mengusulkan, untuk mengatasinya agar memindahkan rel KA babaranjang yang dituding bikin kemacetan keluar jalur padat di perkotaan Bandarlampung.

"Ada tiga jalan keluar, yakni memindahkan relnya, memindahkan Kota Bandarlampung, atau teknologinya dikuatkan. Tapi sanggup atau tidak PT BA dan PT KAI memindahkan kota ini," kata dia pula.

Menurut Wiyadi, PT KAI perlu memikirkan cara bagaimana tidak memperparah kemacetan di Bandarlampung. "Semestinya usaha yang dikembangkan tidak menjadi beban di wilayah setempat. Kalau memang PT KAI berniat baik, maka bisa alokasikan dana untuk membuat jalan bawah tanah atau underpass. Ketimbang membuat pagar lebih baik dialokasikan membangun underpass," ujarnya lagi.

Dia menambahkan, perlintasan KA semakin tahun akan semakin padat. Imbasnya, kemacetan akan semakin panjang. Saat terjadi kemacetan, bahan bakar minyak kendaraan yang dipakai menjadi boros.

"Artinya, masyarakat bisa menghitung kerugian akibat KA babaranjang. Karena itu, perlu diantisipasi oleh PT KAI dan PT BA. Ke depan tak hanya masyarakat Bandarlampung yang memprotes. Daerah lain yang masyarakatnya mulai padat akan bersuara pula," ujarnya lagi.

Ia mengingatkan agar PT KAI jangan berlindung di bawah undang-undang, tapi harus melihat juga masyarakat di sekitar dirugikan atau tidak, sehingga jangan memandang sebelah mata.

Karena itu, Pemerintah Provinsi Lampung juga diminta segera merealisasikan tol sungai. Dengan keberadaan tol sungai, maka KA babaranjang tak perlu melewati jalanan di Kota Bandarlampung sehingga tak menimbulkan kemacetan di Kota Tapis Berseri ini.

Menurut Ginta Wiryasenjaya, pengusaha yang juga anggota Tim Pokja Infrastruktur Lampung, KA babaranjang itu cukup melintas dari Muaraenim sampai Negeri Besar di Kabupaten Way Kanan, lampung. Dari Way Kanan diangkut menggunakan kapal tongkang via tol sungai.

"Solusinya, KA babaranjang cukup dari Muaraenim ke Way Kanan. Nantinya, dari sana diangkut lewat tol sungai, sehingga babaranjang tak perlu lagi lewat Kota Bandarlampung. Tidak ada lagi masalah kemacetan di Bandarlampung gara-gara KA babaranjang," ujar dia lagi.

Menurutnya, persoalan KA babaranjang yang membuat warga Bandarlampung merasa tak nyaman itu terjadi akibat kesalahan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Lampung.

Ginta menyebutkan, dalam RTRW Lampung, pembangkit listrik di kawasan tengah, bukan di ujung pulau (selatan Lampung). Padahal, listriknya mau dikirim lagi ke utara, sehingga tidak efisien.

"Kami sudah penjajakan ke PT Bukit Asam Transpasifik yang mengurusi transportasi. Hasilnya, kami sepakat bahwa ke depan angkutan batu bara tidak lagi melalui Kota Bandarlampung, tapi menggunakan tol sungai," ujarnya lagi.

Namun Wali Kota Bandarlampung Herman HN tak sependapat dengan Ginta. Dia mengatakan, persoalan KA babaranjang bukan karena kesalahan penyusunan RTRW Lampung. "Saya pernah jadi pejabat di Pemprov Lampung. Ini bukan masalah tata ruang, sebab RTRW itu sudah disusun secara cermat oleh ahlinya," kata dia pula.

Herman juga menyatakan bahwa PT BA menghasilkan listrik bukan untuk daerah Lampung. Bahkan, perusahaan itu dinilai kurang berkontribusi dalam pembangunan Lampung. "Batu bara itu diangkut lagi oleh PT BA ke luar Lampung. Jadi, enggak ada andilnya untuk Lampung, khususnya Kota Bandarlampung," ujarnya.

Dua anggota DPRD Kota Bandarlampung yang hadir dalam diskusi itu, Erwansyah dari Partai Hanura, dan Handrie Kurniawan dari PKS senada menyatakan berdasarkan data polusi dari batu bara dapat menyebabkan kanker. Selama ini, setidaknya sepuluh tahun terakhir masyarakat di sekitar operasional usaha PT BA dan PT KAI, menurut anggota dewan itu, menunggu kontribusi yang lebih signifikan.

      Akan Dievaluasi

Menanggapi permasalahan itu, evaluasi akan dilakukan oleh manajeman PT BA.

Menurut Yulfaizon yang mewakili PT BA, sejak tahun 2012 pihaknya telah mengadakan kemitraan bantuan pinjaman lunak bagi masyarakat di Lampung. "Ada program bina lingkungan, bantuan bencana alam, prasarana dan sarana umum, dan lainnya. Kami kooperatif, namun besaran CSR tentu saja ada juklaknya," ujar dia pula.

Sedangkan Asdo Artiviyanto dari PT KAI Divre IV Tanjungkarang menanggapi pertanyaan dan keluhan masyarakat seputar CSR terkait dengan lembaganya, menyebutkan pihaknya telah membantu berupa sumur bor telah dibangun di Sukamenanti, Labuhan Ratu, Bandarlampung.

Program kepedulian sosial perusahaan (CSR) juga dilakukan untuk pembangunan masjid, jalan kampung, pengeboran air untuk daerah yang sulit air, dan pengadaan klinik diprioritaskan untuk daerah yang jauh dari puskesmas.

"Beberapa waktu lalu, kami juga menyerahkan bantuan kacamata untuk para pelajar yang membutuhkan, diberikan langsung dengan disaksikan oleh para lurah," ujar dia lagi.

Anggota DPD asal Lampung Andi Surya yang memimpin diskusi itu, menyimpulkan bahwa ring satu CSR perusahaan (PT BA dan PT KAI) seharusnya lebih diperluas bukan hanya di sekitar operasional perusahaan tersebut, namun juga untuk masyarakat di sepanjang daerah pinggiran rel.

Andi juga mengingatkan PT KAI berkaitan informasi tentang PT KAI mengambil sewa tanah, diminta tidak lagi melakukan hal tersebut karena status tanah bukan milik PT KAI.

"PT KAI harus memperhatikan dampak teknis bagi masyarakat dengan melaksanakan Program CSR dan Community Development sesuai dengan hasil rapat di DPD RI, pada 16 Maret 2016 lalu, dengan pihak-pihak terkait," ujarnya lagi.

Diskusi ini dihadiri selain oleh pengambil kebijakan, juga perwakilan anggota masyarakat, sejumlah LSM, dan forum komunikasi masyarakat terkait, para aktivis mahasiswa, dan tokoh masyarakat.

Ginta Wiryasenjaya menegaskan kembali penilaiannya bahwa kajian penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk RTRW Provinsi Lampung dalam memposisikan letak pembangkit tenaga listrik kurang cermat, sehingga menjadikan angkutan bahan baku untuk pembangkit listrik menjadi polemik berkepanjangan yang menyebabkan kemacetan lalu lintas di lintasan sebidang jalur yang dilewati KA babaranjang.

Kondisi tersebut, menurutnya lagi, menyebarkan partikel-partikel debu beterbangan karena KA babaranjang tidak dilengkapi dengan terpal penutup, sehingga berpotensi mengganggu saluran pernapasan dan menimbulkan kanker kulit bagi warga sekitarnya.

Ia menyatakan pula adanya pemborosan bahan bakar solar untuk KA pengangkut batu bara karena lokasinya yang jauh.

Seharusnya, katanya lagi, lokasi pembangkit listrik jangan di Tarahan (di ujung selatan) karena listriknya akan didistribusikan ke arah utara (pada jalur yang dilewati KA babaranjang), sedangkan di ujung selatan adalah laut sehingga tidak memerlukan energi listrik, sebaiknya dulu PLTU tersebut dibangun di kabupaten Lampung Tengah sehingga efektif dan efisien terhadap BBM untuk KA babaranjang tersebut.

Ginta juga mengingatkan keberadaan PT KAI sebagai operator di bawah Kementerian BUMN, dan Ditjen Perkerataapian sebagai regulator di bawah Kementerian Perhubungan. "Ada yang menyalahkan PT KAI dalam pembangunan pagar pembatas dan underpass, padahal pembangunan sarana infrastruktur tersebut dibiayai dari dana APBN Ditjen Perkeretaapian Kemenhub, sehingga tidak ada hubungannya dengan PT KAI atau pun Dinas Perhubungan provinsi/kota," katanya lagi.

Menurutnya, seharusnya Kemenhub bekerjasama dengan Kemen-PUPERA dan Pemprov Lampung untuk mulai memikirkan pembangunan jalan tol di tengah kota dengan memanfaatkan lahan 15 meter dari as rel KA tersebut (sesuai UU No. 23 Tahun 2007).

Dia berharap momentum ini mungkin dapat dinegosiasikan dengan masyarakan yang ada di daerah pinggiran rel KA, sehingga pemerintah tinggal menyiapkan dana ganti rugi untuk mereka, karena mereka pun sebenarnya tidak nyaman tinggal dekat dengan rel KA. "Kalau negosiasi ganti rugi ini menguntungkan, ada kemungkinan mereka pun mau pindah, siapa sih yang mau tinggal di pinggir rel," ujarnya pula.

Ginta mendesak Pemprov Lampung segera merealisasikan moda transportasi air (tol sungai) sebagai angkutan alternatif, agar KA pengangkut batu bara tidak lagi melintasi perkotaan di Provinsi Lampung (Way Kanan, Lampung Utara, Lampung Tengah, Pesawaran, dan Bandarlampung.

Keberadaan tol sungai itu dipastikan akan mengurangi kerusakan jalan diakibatkan truk yang bermuatan overload, mengurangi kepadatan lalu lintas di Jalan Lintas Sumatera, adanya potensi pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi tol sungai dan pelabuhan melalui BUMD.

"Kalau memang akan banyak manfaat dibandingkan mudaratnya, kenapa tidak cepat direalisasikan saja tol sungai itu, toh tidak menggunakan APBD Lampung," ujar Ginta Wiryasenjaya pula.