Menyoal "tawassuth" NU di tengah ancaman disintegrasi

id NU, bendera NU, M Irfan Ilmie

 Menyoal "tawassuth" NU di tengah ancaman disintegrasi

M Irfan Ilmie (istimewa)

Jika seseorang dengan tingkah-polah politiknya yang mengindikasikan dapat menimbulkan perpecahan, maka NU tidak boleh membela mati-matian, sekalipun dengan dalih demi melestarikan keberagaman.
          Pemilihan umum baru akan berlangsung dua tahun mendatang, namun eskalasi politik nasional sudah mulai terlihat sejak setahun yang lalu menjelang penetapan pasangan calon untuk pemilihan kepala daerah yang berlangsung secara serentak pada 15 Februari 2017 yang tinggal beberapa hari lagi.

         Meskipun pilkada serentak digelar di 101 daerah di Indonesia, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, memanasnya suhu politik dirasakan hampir di semua daerah di seluruh Tanah Air.

         Memanasnya suhu politik itu juga karena Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta merupakan salah satu daerah yang menggelar pilkada tersebut.

         Memang hak pilih warga Ibu Kota yang hanya pada kisaran angka 7 jutaan bukan faktor dominan yang turut memanaskan suhu politik nasional. Namun Jakarta yang menjadi barometer perpolitikan nasional sekaligus miniatur bangsa menjadi perhatian utama sehingga 100 daerah lain yang sama-sama menggelar pilkada hampir-hampir luput dari perhatian.

         Mulai dari fenomena dugaan penistaan agama yang mengharuskan Gubernur nonaktif DKI Jakarta sekaligus salah satu kandidat gubernur mendatang, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, berurusan dengan lembaga peradilan, hingga ancaman disintegrasi bangsa turut mewarnai situasi politik yang mulai memanas ini.

         Sebagian pengamat menilai bahwa Pilkada DKI Jakarta menjadi ajang pemanasan Pemilu Presiden 2019 yang iklimnya diperkirakan jauh lebih panas dibandingkan dengan ajang yang sama tiga tahun lalu.

         Tanpa disadari organisasi-organisasi keagamaan, terutama yang beraliran Islam, sudah terlibat terlalu dalam. Mereka sudah menjadi bagian dalam perang proksi yang dikendalikan oleh dua unsur kekuatan.

         Umat Islam tidak saja terombang-ambing di antara sikap panutan mereka dalam berpolitik yang terkadang mengabaikan "akhlaqul karimah" sebagai prinsip utama dalam berperilaku. Bahkan, tidak jarang pula mereka dengan menggunakan pengaruhnya di media sosial turut memanas-manasi situasi dengan mengabaikan "tabayyun" sebagai pedoman rasional dan normal para cerdik pandai di bidang agama dalam menyikapi suatu persoalan "waqi'iyah" yang dihadapi umat.

         Padahal peran para pemimpin agama sangat penting dalam menghindarkan perpecahan. Bukan sebaliknya menjadi alat politik kelompok tertentu yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan bertolak belakang dengan cita-cita para ulama terdahulu yang turut berjuang merebut bangsa ini dari tangan penjajah, apalagi memanas-manasi situasi.

         Dengan dalih menegakkan ajaran agama sesuai dengan kandungan dalam kitab suci, para pemimpin agama lupa bahwa ada ancaman disintegrasi yang membayang-bayanginya karena hakikat negara ini berpopulasi multietnis.

    
              Pusaran Konflik
    Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas keagamaan terbesar dan tertua di Indonesia tidak bisa menghindari situasi saat ini. Dengan jumlah pengikut antara 50 juta hingga 80 juta jiwa, mestinya NU memiliki peran yang sangat strategis, walaupun jauh-jauh hari sebelumnya menyatakan bahwa organisasi yang didirikan para ulama pada 1926 itu ingin menjauhkan diri dari politik.

         NU yang beraliran "ahlussunnah wal jamaah" itu harus tetap berada di tengah-tengah atau bersikap moderat. Dalam usianya yang ke-91, NU juga harus bisa merefleksikan sikap "tawassuth"-nya untuk menyatukan umat agar tidak terpecah hanya karena kepentingan politik kelompok tertentu.

         Para elite NU harus bisa membuktikan ucapannya di forum-forum internasional bahwa Islam di Indonesia tidak seperti Islam di daratan Arab. Perbedaan aliran di Indonesia tidak setajam di Jazirah Arab karena para ulama di Indonesia tidak terlibat aktif atau tidak memiliki afiliasi dengan kelompok politik tertentu.

         Dan, faktor yang membedakan lainnya adalah sikap "tawassuth" NU sebagai ormas terbesar. Sikap "tawassuth" yang berarti di tengah-tengah, tidak ke ekstrem kanan dan tidak ekstrem ke kiri merupakan salah satu pilar ahlusunnah wal jamaah yang dianut oleh jam'iyyah tersebut sejak puluhan tahun silam.

         Dengan berpegang teguh pada pilar "tawassuth" tersebut tidak seharusnya pimpinan NU memiliki afiliasi politik kepada kelompok tertentu. Pandangan politik di antara pimpinan NU boleh berbeda, namun tetap berpegangan pada pilar-pilar ahlussunnah wal jama'ah.

         Boleh saja NU mendaku bahwa dirinya tidak mudah terpengaruh oleh provokasi mereka yang beraliran "sumbu pendek". Namun NU juga harus peka terhadap pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa, sekali pun mereka berada di lingkaran kekuasaan!
    Tawassuth bukan berarti bersikap tidak tegas atau plin-plan. Layaknya seorang wasit (dari kata "waasith" yang berarti penengah) dituntut ketegasan dalam memimpin suatu pertandingan, tidak memihak siapa pun, apalagi "diam-diam" ikut bermain.

         Sikap berada di tengah-tengah itu harus ditunjukkan dengan keadilan dalam berperilaku. Dalam ilmu fikih dasar, adil itu berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kopiah berada di atas kepala, bukan menjadi alas kaki, begitulah filosofi keadilan.

         Jika seseorang dengan tingkah-polah politiknya yang mengindikasikan dapat menimbulkan perpecahan, maka NU tidak boleh membela mati-matian, sekalipun dengan dalih demi melestarikan keberagaman. Sikap itu harus sama persis dengan ketegasan NU dalam menolak segala bentuk radikalisme.

         Pluralisme dan radikalisme, garis perjuangannya memang tidak akan bisa bertemu sampai kapan pun. Hanya sikap "tawassuth" lah yang diharapkan mampu menghindarkan perpecahan lebih dalam di antara keduanya.

         Pilkada DKI Jakarta yang sudah tinggal sepuluh hari lagi untuk menentukan pemenang dari salah satu dari tiga pasangan kandidat menjadi batu ujian bagi para pimpinan NU di tingkat pusat yang sedang berjuang menegakkan sikap "tawassuth" itu sesuai amanah dari para pendahulunya.

         Perseteruan antara Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin dengan pihak Ahok yang sedang berperkara di pengadilan terkait kasus dugaan penistaan agama makin meluas dampaknya sampai-sampai mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin bertemu Presiden Joko Widodo.

         Meskipun dalam memberikan keterangan di persidangan tersebut kapasitas Kiai Ma'ruf Amin sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), NU turut terseret dalam pusaran politik nasional.

         Dalam pertarungan politik yang sesungguhnya poros utamanya ada pada Presiden dan sang mantan menjadikan pimpinan NU terbelah, setidaknya dalam cara pandang dan mungkin juga dukungan.

         Dan, fenomena tersebut bukan kali ini saja terjadi. Pimpinan NU pernah gaduh dalam Pemilu Presiden 2014 yang juga berdampak pada hasil Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 2015. Nyaris saja terjadi perpecahan permanen di tubuh NU bakda muktamar. Beruntung, mereka segera "tawazun" sehingga dampak yang lebih jauh segera terhindarkan.

         Biasanya, pimpinan NU segera memanfaatkan media "tawazun" ini untuk menetralisasi pikiran mereka yang sempat terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik berbeda karena dalam "tawazun" yang merupakah salah satu pilar lainnya dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah menuntut keseimbangan pola pikir.  
   
         Pertanyaannya sekarang, apakah perbedaan pandangan politik di antara elite NU ini segera berakhir setelah pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta atau malah akan berlanjut hingga Pemilu Presiden 2019.

         Jawabannya tergantung kemauan dan inisiatif para elite itu sendiri. Apakah mereka segera memanfaatkan jalur "tawazun" atau masih menundanya. Wallahu a'lam, hanya Tuhan yang paling tahu jawabannya.