IDI Lampung tolak DLP

id dokter, IDI Lampung, DLP

IDI Lampung tolak DLP

Dokter Lampung menolak keras Prodi Dokter Layanan Primer (DLP) karena dinilai pemborosan anggaran. (ANTARA LAMPUNG/Agus Setyawan)

Bandarlampung (Antara Lampung) - Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Lampung menolak penerapan program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) karena dinilai hanya pemborosan biaya.
    
"Dokter Layanan Primer  itu sebenarnya sudah didapatkan selama menjalani masa pendidikan. Kita menempuh pendidikan untuk menjadi seorang dokter umum sekitar tujuh tahun," kata Sekretaris IDI Kota Bandarlampung, dr Bambang Eko Subekti, saat aksi damai di Tugu Adipura Bandarlampung, Senin.
    
Menurut dia, tuntutan IDI menolak program pendidikan (Prodi) DLP itu bukan tidak beralasan.
     
"Misalnya saja, pendidikan awal ditempuh calon dokter kurang lebih empat tahun, kemudian koas atau yang lebih dikenal dokter muda melakukan praktik di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya sebelum menempuh ujian kelulusan dokter," kata dia.
    
"Setidaknya dua tahun untuk koas, dan ditambah menunggu ujian. Jadi, butuh sekitar tujuh tahun untuk menjadi dokter umum, dan sudah ada DLP di situ.  Sebaiknya, pemerintah lebih memikirkan peningkatan kualitas atau kompetensi dokter yang sudah ada, bukannya menambah progam pendidikannya karena itu dinilai mubazir atau sia sia," kata dia.
    
Menurut dokter  di RS Abdoel Moeloek itu, program Dokter Layanan Primer merupakan diskriminasi terhadap kelompok dokter tertentu.
    
"Dokter Layanan Primer bukan jawaban masalah urgen yang terjadi selama ini di bidang pelayanan kesehatan," katanya.
     
Ia meminta pemerintah lebih fokus pada program prioritas, di antaranya mengatasi minimnya alat kesehatan, kekosongan obat, persoalan obat palsu, juga sarana-prasarana puskesmas serta rumah sakit yang masih minimal.
    
"Termasuk mengatasi kekosongan dokter di banyak puskesmas," katanya.
    
Terkait tudingan atas kualitas dokter umum yang dinilai rendah karena sering merujuk pasiennya, ia menjelaskan bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadi perujukan pasien.
    
Pertama, obat dan alat kesehatan yang sering kali tidak tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan tempat praktik dokter.
    
Kedua, masih belum meratanya distribusi dokter yang membuat dokter tak punya banyak waktu untuk melakukan pemeriksaan pasien lebih mendalam.
    
"Kalau misalnya dokter diberi waktu kurang dari 10 menit untuk melakukan konsultasi karena terlalu banyak pasien menunggu, otomatis mereka merujuk kasus-kasus yang dikira tidak bisa ditangani," katanya (ANT)