Mendorong petani singkong mandiri

id singkong,Budisantoso Budiman

Mendorong petani singkong mandiri

Seorang pekerja, Selasa (11/10), di Kampung/Kecamatan Negarabatin, Kabupaten Waykanan, Lampung sedang mengangkut singkong. (FOTO ANTARA/Gatot Arifianto)

Bandarlampung (Antara Lampung) - Mekanisme pasar membuat harga hasil pertanian, termasuk singkong, menjadi bergantung pada kondisi penawaran dan permintaan sehingga cenderung fluktuatif.
           
Harga tinggi saat permintaan besar. Sebaliknya, menurun ketika permintaan rendah atau panen melimpah.
           
Sebelumnya, harga singkong relatif stabil. Dalam kondisi ini, para petani singkong di Lampung tersenyum menikmati harga yang tidak mengalami turun-naik. Namun, belakangan ini mereka mengeluhkan kondisi harga ubi kayu yang cenderung merosot.
           
Mereka di sentra produksi singkong Provinsi Lampung, seperti di Kabupaten Lampung Tengah, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, dan Mesuji mengeluhkan harga singkong yang cenderung terus anjlok itu sehingga membuat mereka cemas.
           
Petani singkong di Kabupaten Tulangbawang Jumli Usman mengeluhkan terus menurunnya harga singkong. Padahal, di akhir Agustus 2016, harganya masih bertahan Rp730,00 per kilogram dengan potongan (rafaksi) berkisar 10 s.d. 20 persen.
           
"Sekarang harga singkong terus merosot, padahal setengah bulan lalu harga singkong di sini masih bertahan Rp1.200,00 hingga Rp1.300,00/kg," ujarnya.
           
Sejumlah petani singkong lainnya di Kabupaten Tulangbawang, Tulangbawang Barat maupun Kabupaten Lampung Tengah, juga membenarkan anjloknya harga singkong untuk pembelian di pabrik pengolah singkong itu berlangsung merata di sejumlah daerah di Provinsi Lampung.
          
Petani singkong di Kabupaten Mesuji pun mengeluhkan harga komoditas utama petani di Lampung itu yang makin merosot sehingga membuat petani setempat makin terpuruk.
           
Harga singkong makin merosot hingga mencapai Rp580,00/kg, kata Wahit, petani singkong di Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Mesuji, akhir pekan ini.
           
Menurut dia, harga singkong tersebut merupakan harga pabrik dengan potongan 15 s.d. 20 persen sehingga harga yang bersih diterima petani paling besar Rp300,00/kg.
           
Makin anjlok harga singkong tersebut, tentunya membuat petani makin terpuruk karena harga tersebut tidak sesuai dengan biaya tanam dan perawatan yang telah mereka keluarkan.
           
"Kalau harga seperti sekarang, petani singkong bisa gulung tikar sebab biaya yang dikeluarkan mencapai Rp9 juta s.d. Rp10 juta per hektare. Dengan kondisi harga saat ini, tidak lagi sesuai dengan biaya produksi," katanya lagi.
           
Merosotnya harga singkong ini tentunya menjadi masalah besar yang dihadapi petani setempat, mengingat saat ini masih dalam kondisi kemarau, katanya.
           
Menurut para petani singkong itu, biasanya musim kemarau harga singkong tinggi. Akan tetapi, sekarang malah merosot. "Sekarang ini sektor petanian tidak menjanjikan lagi karena petani terjebak dengan harga rendah," katanya pula.
           
Oleh karena itu, para petani singkong di Provinsi Lampung mendesak pemerintah segera turun tangan membantu mengatasi anjloknya harga yang cenderung terus berlanjut sehingga merugikan mereka.
           
Menurut Sahrudin Aden, petani singkong di Kabupaten Lampung Tengah yang baru terpilih memimpin Gabungan Petani Singkong Indonesia (Gapesi) Lampung, belakangan ini harga singkong terus menurun dan cenderung makin anjlok.
           
Ia menyebutkan beberapa hari lalu harga singkong berada pada kisaran Rp680,00/kg dengan potongan antara 10 dan 20 persen. Padahal, sebelumnya harga singkong masih bertahan pada kisaran Rp900,00 hingga Rp1.000,00/kg. Harga singkong itu cenderung terus merosot lebih rendah lagi.
           
Menurut dia, umumnya petani singkong di Lampung menjual hasil panen singkong ke pabrik pengolahnya untuk menjadi tepung tapioka.
           
"Sekarang ini, menurut pabrik, pasokan singkong banyak dan kualitasnya cenderung menurun sehingga harganya merosot," katanya.
           
Beberapa pabrik juga menyatakan sedang beristirahat beroperasi karena sedang masa perbaikan mesin.
          
Oleh karena itu, selaku Ketua Gapesi Lampung yang baru terbentuk awal September 2016, Sahrudin Aden meminta pemerintah segera turun tangan membantu petani singkong agar harganya tidak terus anjlok.
         
 Ia menyebutkan pada tahun 2015, saat musim panen singkong seperti sekarang ini, harganya bertahan berkisar Rp1.500,00/kg, tergolong stabil dan merupakan harga singkong bertahan baik di Provinsi Lampung sebagai daerah penghasil singkong utama di Indonesia.
           
Menurut Sahrudin, saat ini pihak pabrik menyatakan pasokan singkong banyak karena sedang panen sehingga harga menjadi turun.
           
Ia memperkirakan pasokan singkong di Lampung makin meningkat, antara lain, karena sebagian petani karet dan kelapa sawit melakukan konversi ke budi daya singkong akibat harga getah karet dan buah sawit yang anjlok.
           
Lampung juga menampung singkong produksi petani di wilayah Sumatra bagian selatan, seperti Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu.
           
"Kalau sekarang harga singkong ikut anjlok, petani singkong mau konversi ke tanaman apalagi," ujarnya.
          
 Oleh karena itu, para petani singkong di Lampung, khususnya yang tergabung dalam Gapesi Lampung, mendesak pemerintah segera turun tangan mengatasi anjloknya harga singkong agar tidak merugikan petani singkong di daerah ini.
         
 Provinsi Lampung kontribusinya tinggi dalam memenuhi kebutuhan produksi singkong nasional.
           
Pemasaran dan pengolahan ubi kayu di Lampung juga terus berkembang dengan relatif banyak industri besar yang masuk, khususnya industri pengolahan singkong menjadi tapioka.
           
Selain industri besar, industri rumah tangga untuk mengolah bahan baku singkong menjadi makanan, seperti keripik singkong, getuk, combro, dan masih banyak lainnya juga berkembang Provinsi Lampung.
           
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia masih mengimpor ubi kayu atau singkong. Impor singkong pada bulan Maret 2016 mencapai 987,5 ton atau senilai 191.093 dolar AS. Impor singkong mayoritas didatangkan dari Vietnam.
           
Oleh karena itu, Kementerian Pertanian melakukan upaya peningkatan produksi dengan jalan membantu pemberian sarana produksi (saprodi) kepada para petani singkong.
          
 Upaya meningkatkan produksi singkong pada tahun 2016 melalui program peningkatan produksi ubi kayu seluas 25.000 hektare, antara lain, di Provinsi Aceh, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Yogya, Kaltim, dan Kalimantan Utara. Di 11 provinsi, pemerintah membantu saprodi untuk petani singkong setempat.
          
 Kementan menyebutkan produksi ubi kayu pada tahun 2015 sebanyak 21,7 juta ton, sedangkan pada tahun 2016 ditargetkan 27 juta ton.
          
 Produksi singkong nasional adalah terbesar nomor tiga di dunia setelah Nigeria dan Thailand dengan total produksi singkong Indonesia mencapai 21,7 juta ton, sebesar 0,8 juta ton di antaranya untuk dikonsumsi langsung, 10 juta ton untuk industri pangan pakan, sisanya 10 juta ton untuk kebutuhan ekspor dan industri lainnya.
          
 Produsen terbesar singkong adalah Provinsi Lampung tercatat 279.000 ton atau setara 13,2 persen dari produksi nasional.

    
              Antisipasi Petani Singkong
      
Berkaitan dengan permasalahan harga singkong terus anjlok itu, dalam pertemuan terkait dengan pembentukan Gabungan Petani Singkong Indonesia (Gapesi) Provinsi Lampung, 4 September 2016, telah disepakati untuk merancang langkah antisipasi.
           
Antisipasi jangka pendek dan jangka panjang itu dirancang agar selanjutnya harga singkong tidak terus terpuruk dan naik kembali, serta petani singkong tidak selalu berada di posisi yang dirugikan.
           
Dalam pertemuan pembentukan kepengurusan Gapesi Lampung di balai adat Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran yang dihadiri Ketua Gapesi Indonesi Thoyib, selain menghasilkan kepengurusan Gapesi Lampung yang dipimpin Sahrudin Aden sekaligus merumuskan langkah strategis petani singkong menghadapi penurunan harga komoditas tersebut.
           
Menurut Sahrudin, anggota Gapesi Lampung yang berasal dari 15 kabupaten/kota di daerah ini sepakat untuk bersama-sama menghadapi keterpurukan harga singkong itu.
           
"Kami bersepakat sekarang ini saatnya petani jadi pelopor jangan hanya menjadi pengekor," ujarnya.
           
Menyikapi merosotnya harga singkong, Gapesi diharapkan bisa mengatasinya, antara lain, dengan strategi jangka pendek dan jangka panjang.
          
 Ia memandang perlu para petani melakukan revolusi perilaku. Tidak hanya bisa menjual singkong apa adanya, tetapi mampu mengubah singkong menjadi bahan olahan yang bernilai ekonomis lebih tinggi, seperti cassava chip, modification cassava flour (mocaf), keripik, chip gaplek, tiwul, opak, dan produk olahan serta siap pakai (konsumsi) lainnya.
           
"Dengan demikian, para petani singkong tidak hanya menggantungkan penjualan singkong mentah pada pengusaha saja, itu salah satu kuncinya supaya harga singkong naik," katanya lagi.
           
Dalam jangka panjang, menurut Sahrudin, petani singkong perlu mendapatkan pelatihan tentang cara budi daya singkong dengan produktivitas tinggi namun biaya bisa efisien.
          
 Pihaknya juga mengingatkan peran pemerintah untuk membantu petani singkong, mengingat selama ini cenderung "dianaktirikan" dibandingkan petani komoditas pangan lainnya, seperti padi, jagung, dan kedelai.
          
 "Petani singkong belum pernah menerima subsidi pupuk yang diperlukan untuk budi daya, seperti dinikmati petani padi, jagung, dan kedelai," ujarnya lagi.
            
Namun, Gapesi tetap akan mendorong kemandirian petani sehingga mampu memproduksi singkong berkualitas secara lebih efisien, mengolah lagi singkong dan tidak melulu hanya mampu menjual singkong mentah seperti sebelumnya.
           
 Petani singkong juga dianjurkan budi daya di areal dengan metode tumpangsari dengan tanaman lainnya, seperti jagung, kunir/kunyit atau tanaman produktif bernilai ekonomis tinggi lainnya.
          
 Diversifikasi tanaman yang dijalankan petani singkong itu untuk mengantisipasi penurunan harga tidak terus berlanjut karena panen serentak produksi tinggi sehingga pabrik kelebihan pasokan yang mengakibatkan harga singkong turun, seperti dialami petani singkong Lampung saat ini.
          
 Pengaturan waktu tanam dan panen singkong pada saat yang tepat juga dirancang para petani singkong di Lampung ini sehingga saat permintaan tinggi dan umur singkong sudah memadai, mereka bisa memanennya. Sebaliknya, menahan lebih dahulu saat permintaan rendah dan pasokan berlimpah serta harga masih anjlok.
           
Hukum dan mekanisme pasar seharusnya dapat disiasati oleh para petani singkong yang sejak awal merancang dengan baik budi daya singkong dengan tumpang sari atau diversifikasi komoditas pertanian tersebut.
          
 Semua upaya antisipasi disepakati dan siap dijalankan para petani singkong di Lampung itu diharapkan membuat tersenyum kembali petani singkong. Mereka benar-benar menikmati harga menguntungkan. Petani pun menjadi makin mandiri dalam berusaha tani singkong ini.