Menjemput Malam di Teluk Jemeluk

id teluk jemeluk bali, menjemput malam

Menjemput Malam di Teluk Jemeluk

Bentangan membiru Teluk Jemeluk, Karangasem, Bali, membius wisatawan dari dalam dan luar negeri. (ANTARA FOTO/Tri Vivi Suryani/wdy/16)

...Lukisan alam yang menakjubkan ini senantiasa ditunggu wisatawan ketika berkunjung ke Jemeluk, untuk menyaksikan hari beranjak petang...
"Hoe mooi ...". "Fabuleux ... ". "The end of the year, I 'll go back again to see the sunset in Jemeluk. It's fantastic!" Ungkapan kekaguman sayup-sayup mengalun di lereng perbukitan berbatu, ketika puluhan wisatawan mancanegara berkumpul di "sunset point" menyaksikan matahari tenggelam di Teluk Jemeluk. Sebuah teluk yang terletak di Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, wilayah timur Bali.

Semburat warna jingga menghampar di permukaan lautan, dan perlahan matahari kemudian tenggelam di balik Gunung Agung. Daun-daun pohon lontar dan dahan intaran bergemirisik perlahan. Di kejauhan, jukung nelayan berwarna-warni ditambatkan di pesisir Pantai Jemeluk.

Keindahan di Teluk Jemeluk, sesungguhnya tak hanya dinikmati di bentangan pesisir belaka. Jauh di dasar lautan, teluk ini menyimpan pesona lain yang tak kalah menakjubkan. Untuk dapat menghayati keindahan ini, wisatawan dapat bertolak menuju belahan timur Pulau Bali.

Teluk Jemeluk berjarak kurang lebih 19 km dari Kota Amlapura (ibu kota Kabupaten Karangasem) dan sekitar 80 km dari Kota Denpasar. Untuk mencapai teluk ini, jika wisatawan bertolak dari Denpasar, dapat mengambil rute by pass Ida Bagus Mantra mengarah ke arah timur hingga melewati kawasan Tirtha Gangga.

Pemandangan sawah terasering terlihat sangat menakjubkan sepanjang perjalanan ini, hingga memasuki wilayah Abang. Selanjutnya perjalanan berujung di Teluk Jemeluk. Perjalanan Denpasar - Teluk Jemeluk memakan waktu kurang lebih 2,5 jam.

Mengenai asal muasal nama Jemeluk, dikarenakan kondisi geografis daerah di mana terdapat lautan menjorok ke daratan. Masyarakat kemudian menyebutnya seluk atau teluk. Keindahan teluk ini begitu mengesankan, karena diapit tebing tinggi yang bisa digunakan menikmati saat-saat eksotis, tatkala matahari terbit di ufuk timur atau tenggelam di langit barat.

Hutan Tanaman Berduri Sejak tahun 1990-an, Teluk Jemeluk perlahan mulai dikenal wisatawan mancanegara, yang menyukai petualangan di bawah lautan. Keragaman ikan, keindahan terumbu karang, dan deretan warna-warni perahu nelayan, menjadi magnet yang senantiasa membius wisatawan untuk datang bertandang.

Padahal, dahulu kala penduduk Jemeluk mengenal sepanjang kawasan teluk ini sebagai hutan yang ditumbuhi tanaman berduri. Sama sekali tidak menyiratkan keindahan yang memikat. Bahkan, jarang penduduk berani melintasi kawasan teluk pada malam hari, dikarenakan lokasi ini dikenal sebagai tempat "leak" bertarung mengadu kesaktian.

Sementara itu, pada keseharian, penduduk mencari nafkah dengan menjadi nelayan dan tukang gembala sapi di wilayah perbukitan yang gersang. Namun, ketika geliat pariwisata mulai bangkit di Teluk Jemeluk, seketika mengubah roda kehidupan penduduk secara drastis.

"Sekarang banyak penduduk yang membangun penginapan karena setiap 'high season' pada bulan Juli-Agustus, wisatawan selalu membeludak ke Jemeluk untuk diving," ucap Nyoman Mangku, lelaki asli Jemeluk yang berprofesi sebagai diving guide.

Tarif bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan bawah laut di Teluk Jemeluk adalah 60 dolar AS. Dipandu oleh "diving guide", selanjutnya wisatawan dapat mengembara di bawah laut. Berenang di antara ikan-ikan yang cantik menawan, atau menjelajahi galeri tujuh patung di dasar lautan.

Tujuh patung ini ialah Bola Dunia, Hanoman, Tikus, Abshara, Mermaid, Kepala Bayi, dan Barong. Patung-patung ini ditanam penduduk sekitar dengan dukungan lembaga konservasi yang menjaga kelestarian lautan Amed, Coral Reef Alliance. Tujuan penanaman patung agar menjadi habitat bagi biota laut, dan tempat tumbuhnya terumbu karang untuk memperindah kawasan bawah lautan.

"Pilihan aktivitas lain bagi wisatawan ialah snorkeling dengan menyewa alat. Biaya sewa antara Rp35 ribu - Rp50 ribu, itu sudah bisa digunakan untuk 'snorkeling' sepuasnya. Kalau mau lihat sunset di laut, bisa menyewa perahu dengan membayar Rp200 ribu. Atau bisa juga menunggu saat-saat matahari terbenam di perbukitan Bunutan. Dijamin akan mendapat pengalaman tak terlupakan melihat sunset di Jemeluk," kata Nyoman Mangku.

Pengalaman lain yang tak kalah sensasional adalah menyelam di Teluk Jemeluk untuk mengirimkan kartu pos kepada orang-orang yang dikasihi. Mengirim kartu pos di dasar lautan? Ya, memang di dasar Teluk Jemeluk, disediakan bangunan pos oleh Coral Reef Alliance. Bagi siapa saja yang berminat mengirimkan kartu pos dari dasar teluk ini, bisa membeli kartu pos kedap air seharga Rp10 ribu kepada Coral Reef Alliance dan selanjutnya tinggal dibawa ke dasar laut untuk dikirimkan.

Secara berkala, Coral Reef Alliance mengambil kartu pos ini, untuk kemudian dikirimkan ke berbagai alamat yang dituju, melalui kantor pos yang berada di wilayah Amed.

Wisata Garam Aktivitas yang jarang dijumpai di destinasi bahari lain ialah berwisata garam. Jika bertandang ke Jemeluk, sempatkan untuk menyewa sepeda gayung dan berkeliling menyusuri kawasan perdesaan yang sarat dengan ungkapan budaya Pulau Dewata. Dan, tentu saja singgahlah sejenak untuk melihat proses pembuatan garam tradisional, yang dikenal sebagai garam Amed, di Desa Purwakerthi.

Pada akhir tahun 2015, Desa Purwakerthi mendapat kebanggaan karena produksi garam Amed mendapat sertifikasi sebagai produk indikasi geografis.

Manager Program Conservation International Indonesia untuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali Iwan Dewantama menyebutkan dalam siaran pers, bahwa sampai kini hanya tiga produk yang mendapat sertifikat tersebut di Bali, yakni jambu mente Kubu, Kopi Kintamani, dan garam Amed.

Menurut Iwan, garam Amed bukan sekadar sebuah produk, namun juga merupakan atraksi wisata dan pendidikan lingkungan yang perlu dilestarikan. Kebanggaan dan prestasi ini sangat penting, di tengah makin sedikitnya lahan dan jumlah petani garam Amed.

"Sedikitnya tersisa 20 petani saja, sementara pasar makin menunjukkan ketertarikannya dengan meningkatnya jumlah permintaan," ujar dia.

Terkait dengan kondisi ini, maka digagas kegiatan 'Mabesikan Project ; Art for Social Change'. Sebuah program kolaborasi yang dijalankan oleh 15 kelompok seniman dan CSO di seluruh wilayah Bali untuk merespon berbagai persoalan sosial melalui karya seni.

Program tersebut mendapat dukungan dari "Search for Common Ground" (SFCG) dan Kedutaan Besar Denmark. Dalam Mabesikan Project ini, Sloka Institute (CSO) bersama Rudi Waisnawa (seniman fotografi) dan Arie Putra (seniman mural) bekerja sama dan berkolaborasi dengan Conservation International Indonesia, Kelompok Indikasi Geografis Garam Amed, Pewarta Warga Amed serta beberapa kelompok seniman Amed.

"Kolaborasi tersebut bertujuan untuk bersama-sama melakukan upaya perlindungan lahan garam Amed," ucap Iwan Dewantama.

Kampanye perlindungan lahan garam Amed dimulai dengan kegiatan diskusi terfokus sebagai wadah untuk mengidentifikasi kendala, potensi, dan strategi perlindungan garam Amed.

Garam Amed Bali yang sudah tersohor itu adalah warisan berharga yang diberikan oleh nenek moyang, dan teknik pengolahan garam tradisional sendiri merupakan daya tarik pariwisata yang luar biasa dan tidak ada di tempat lain.

Iwan Dewantama menjelaskan bahwa kegiatan Mabesikan Project merupakan ajang kolaborasi para pihak untuk mengangkat segenap potensi perlindungan garam Amed, dan sebuah bentuk konservasi Alam dengan pendekatan baik di darat maupun di laut atau Nyegara-Gunung.

Pendekatan ini didasari prinsip keterkaitan lingkungan dari gunung sampai laut yang perlu dikelola secara terpadu. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadikan Amed sebagai salah pariwisata berbasis ekosistem dan budaya, yang dapat mendukung keberlanjutan dan kejayaan garam Amed.

Upaya tersebut sekaligus mendorong kolaborasi antara seniman dan CSO, juga akan ada kegiatan Mabesikan Forum tanggal 15-16 Agustus 2016 yang akan memfasilitasi pertemuan antara seniman, CSO, stakeholder pemerintah dan komunitas masyarakat. Puncaknya akan ada Festival Mabesikan pada bulan Oktober 2016.

Wisata garam ini menjadi warna baru dalam pariwisata di Teluk Jemeluk, untuk lebih menghayati keragaman wisata bahari yang menghampar di setiap sudut Bumi Pertiwi.

Namun jika ingin bertandang ke Jemeluk, sebaiknya menghindari saat-saat "high season" dikarenakan wisatawan asing memadati objek ini dan tarif penginapan pun menjadi naik drastis. Jika pada hari biasa 'home stay' dengan kamar ber-AC bertarif Rp250 ribu, maka pada high season harga bisa melonjak menjadi Rp400 ribu.

Dan meski terletak belahan timur Pulau Bali yang jauh dari pusat kota, namun sungguh amat mengesankan jika dapat mengunjungi Teluk Jemeluk. Deretan jukung berwarna-warni, pesona bawah laut, mengirim postcard kepada orang terkasih di dasar laut, mencicipi legitnya garam Amed, dan menunggu malam di sunset point, adalah saat-saat terbaik yang menghantar pengunjung pada kesan tak terlupakan. Kesan terdalam kala menyambut malam di Teluk Jemeluk. (Ant)