AS kerahkan kapal induk, China siagakan militernya

id Laut China Selatan, kapal induk,AS kerahkan kapal induk, China siagakan militernya

AS kerahkan kapal induk, China siagakan militernya

USS Dwight D Eisenhower (wikipedia.org)

Beijing (Antara/Reuters) - Pemerintah China harus menyiapkan pasukan militernya untuk mengantisipasi konflik di Laut China Selatan (LCS), demikian tulis salah satu media negara itu pada Selasa, sepekan jelang keputusan Mahkamah Internasional atas sengketa perairan antara Filipina dan China.
        
Ketegangan di wilayah itu kian meningkat jelang pembacaan hasil sidang oleh pengadilan arbitrasi di Den Haag, Belanda, pada 12 Juli terkait perkara LCS antara China dan Filipina.
        
Dalam editorial gabungan edisi bahasa China dan Inggris, koran milik pemerintah Global Times mengatakan, perkara LCS telah diperparah dengan intervensi dari Amerika Serikat.
       
Kasus ini kian memanas akibat proses persidangan yang hasilnya dapat mengancam kedaulatan China, tambahnya.
        
"Washington telah mengerahkan dua kapal induknya di sekitar Laut China Selatan, memberi sinyal: sebagai negara adidaya di kawasan tersebut, AS menunggu kepatuhan China," ungkapnya.
        
Alhasil, China harus meningkatkan kemampuan pencegahan dan antisipasi militernya, tulis harian tersebut.
        
"Meski China tak dapat mengimbangi militer AS dalam jangka pendek, negeri ini harus dapat memberi pelajaran bagi negara itu jika pihaknya mengintervensi sengketa di Laut China Selatan dengan paksa," terangnya.
        
"China berharap, perkara di Laut China Selatan sebaiknya diselesaikan dengan jalur mediasi, walaupun demikian, pemerintah harus tetap menyiapkan pasukan militernya demi mengantisipasi konfrontasi di sana. Ini adalah pandangan cukup lazim dalam hubungan internasional antar negara."
    
Koran itu dicetak oleh Harian People's Daily, media milik penguasa, Partai Komunis China.
        
Meski Global Times banyak dibaca oleh kalangan pembuat kebijakan, tulisannya memiliki fokus yang beda dengan People's Daily.
        
Bahkan, editorial dalam koran itu tak dianggap mewakili pandangan atau kebijakan pemerintah.
        
Media tersebut dikenal atas pandangan nasionalisnya yang ekstrim.
       
 China yang tampak cukup marah karena patroli militer AS di Laut China Selatan, akan mengadakan pelatihan militer rutin di perairan tersebut pada Rabu.
        
Kementerian Pertahanan China seperti dikutip China Daily mengatakan, latihan militer itu merupakan aktivitas rutin.
       
 Meski demikian, Manila justru terlihat tengah menurunkan ketegangan dengan negara tetangganya itu jelang hasil persidangan.
        
Namun, negara itu menolak tekanan untuk mengabaikan keputusan pengadilan.
        
"Faktanya tak ada seorang pun yang menghendaki konflik, tak ada pihak manapun yang ingin menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tak ada negara manapun yang menghendaki adanya perang," ujar Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay dalam siaran Televisi ANC pada Selasa.
        
"Dalam pandangan saya, presiden menginginkan adanya relasi erat dan lebih baik dengan tiap negara, termasuk China, AS, Jepang, dan pihak lainnya," kata Yasay seraya menambahkan, penyelesaian konflik tersebut membutuhkan keterlibatan "utusan khusus."
   
Pejabat pemerintah AS telah menunjukkan keprihatinannya atas kemungkinan hasil persidangan nanti justru memicu Beijing memberlakuka  Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), layaknya yang dilakukan di Laut China Timur pada 2013 atau mempercepat proses reklamasi dan pembangunan yang dilakukan China di perairan sengketa itu.
        
Reaksi China atas kasus tersebut akan "sepenuhnya bergantung" pada kebijakan Filipina, tulis China Daily mengutip pernyataan sumber yang tak ingin disebut namanya.
        
"Kemungkinan adanya konflik tak akan terjadi jika seluruh pihak terkait mengesampingkan keputusan pengadilan arbitrasi," ujar salah satu sumber dalam koran beredisi Inggris tersebut.
        
"China tak pernah memulai ketegangan di kawasan perairan itu," kata sumber lain menambahkan.
        
Kapal-kapal dagang senilai lima triliun dolar AS melintasi Laut China Selatan, perairan strategis kaya energi, tiap tahunnya.
        
Perairan itu tidak hanya diklaim sendiri oleh China, tetapi juga sejumlah negara lain seperti Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.