YLBHI: Batalkan Reklamasi Teluk Jakarta

id Reklamasi Teluk Jakarta, YLBHI Desak Reklamasi Dibatalkan, Reklamasi Teluk Jakarta

YLBHI: Batalkan Reklamasi Teluk Jakarta

Nelayan melakukan aksi dan penyegelan Pulau "G" sebagai simbol penolakan reklamasi Teluk Jakarta di proyek reklamasi Pulau "G", Jakarta, Minggu (17/4). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/16.)

"Posisinya jelas bahwa jika reklamasi ini diteruskan maka Pemprov DKI Jakarta beserta Pemerintah Pusat telah melanggar hak asasi manusia," kata pengacara publik YLBHI ini.
Jakarta (ANTARA Lampung) - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta karena melanggar hak asasi manusia nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.

Pengurus YLBHI Wahyu Nandang Herawan dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Minggu (17/4), menilai penghentian sementara reklamasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan  menandakan pemerintah setengah hati dalam menegakkan hak asasi para nelayan tradisional.

"Padahal secara jelas dan nyata telah menimbulkan banyak persoalan dan di sisi lain telah ditolak oleh nelayan," kata Wahyu.

Berdasarkan catatan YLBHI pelanggaran HAM yang terjadi pada proyek reklamasi Teluk Jakarta di antaranya adalah hak atas hidup, hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia sejahtera dan lahir batin, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, dan hak atas informasi.

"Posisinya jelas bahwa jika reklamasi ini diteruskan maka Pemprov DKI Jakarta beserta Pemerintah Pusat telah melanggar hak asasi manusia," kata pengacara publik YLBHI ini.

Menurut Wahyu, di dalam proyek reklamasi itu terjadi ketimpangan struktural antara  negara, korporasi, dan rakyat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dengan mengeluarkan kebijakan untuk menundukkan rakyat demi kepentingan korporasi.

"Nelayan tradisional (rakyat) dilemahkan oleh keduanya (korporasi dan Pemprov DKI) dengan menutup semua akses. Ketimpangan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya pemiskinan struktural, pelanggaran HAM, dan pelanggaran hukum," kata dia.

Pemiskinan struktural terjadi ketika nelayan tradisional tidak dapat melaut dan mencari ikan karena aksesnya ditutup yang berakibat nelayan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya.

Wahyu mengatakan pengelolaan wilayah pesisir harus berpedoman pada prinsip "open acces" yaitu masyarakat berhak untuk mengakses secara terbuka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan prinsip  "common property" yakni nelayan memiliki hak hukum untuk memanfaatkan, melindungi, mengelola dan melarang orang luar memanfaatkannya.

"Karena itu, sudah selayaknya dan dibenarkan bahwa para nelayan melakukan penyegelan pulau karena pengelolaan pesisir dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan aksesnya tertutup monopoli," kata Wahyu.

Ratusan nelayan melakukan aksi menyegel pulau reklamasi yang dibangun pengembang di pesisir Pluit, Jakarta Utara.

Penyegelan yang dilakukan oleh para nelayan di kawasan reklamasi merupakan bentuk gerakan moral dan sekaligus untuk mengingatkan pemerintah ada anak bangsa yang butuh perlindungan dan perhatian.

Nelayan itu dalam aksinya didukung Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, KNTI Jakarta, WALHI Jakarta, Kontras, YLBHI, LBH Jakarta, SP, KIARA, KOPEL, JRMK, UPC, ICEL, PBH Dompet Dhuafa, ForBali Jakarta, BEM FIB UI, ILUNI, Semar UI, KSPI, Institut Hijau Indonesia, Pergerakan Indonesia, Rujak, FSPMI, KBTA, dan sebagainya.