Sediakan film bagus buat anak

id Film bagus

Penyair Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan dalam sebuah seminar di Pusat Bahasa bahwa menonton sinetron atau film itu sama seperti membaca karya sastra.

Ucapan penulis kumpulan puisi Perahu Kertas itu menggugurkan pandangan korservatif di kalangan orang tua bahwa sebaiknya anak-anak tidak boleh banyak menonton televisi karena dapat mengurangi prestasi belajar mereka.

Tentu tidak ada yang salah dengan pandangan ortodoks orang tua itu. Menonton televisi yang seklektif, hanya film-film tertentu, tentulah baik-baik saja. Lain halnya jika sepanjang waktu seorang anak menonton televisi tanpa panduan. Lebih-lebih menghabiskan waktu di depan layar kaca mulai pagi hingga malam pada kala hari libur sekolah. Untuk hari-hari di luar hari libur, jeda nonton televisi hanya saat anak berada di sekolah.

Dari segi tingkat keterpahaman, membaca buku dalam hal ini buku cerita tentu berbeda jika dibandingkan dengan menonton film di layar kaca atau layar lebar. Pembacaan teks lebih kompleks dan memerlukan daya tangkap lebih dibandingkan dengan pembacaan gambar bergerak.

Pada teks, pemahaman akan semakin sulit diraih jika penulis tak mempunyai kepiawaian berliterasi sementara pada gambar bergerak, pemahaman atas isi lebih mudah diraih karena apa yang menjadi isi tersampaikan lewat peralatan kamera yang menghasilkan realitas yang lebih gamblang bagi pemirsa.

Poin penting yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa waktu yang digunakan anak untuk menonton tayangan film di televisi tak mubazir begitu saja sejauh film itu menyeret anak untuk menggunakan logika dan daya tangkapnya dalam memaknai tontonan di layar kaca itu.

Seorang anak di mana pun dulu hingga saat ini tentu gemar menyaksikan serial film kartun lucu klasik semisal Tom and Jerry. Dua jenis hewan itu berseteru abadi, yang satu si Kucing Tom dan yang lain si Tikus Jerry, diberi karakter kontras.

Tom adalah si kuat yang ingin mengalahkan Jerry dengan segala kelebihannya, yakni kekuatan jasmaninya, sementara Jerry adalah si kecil yang jauh dari kemampuan fisik Tom. Untuk sintas dalam hidup yang penuh persaingan tidak adil itu, Jerry punya senjata yang tak dimiliki Tom, yakni kecerdikan, kecepatan, dan kekecilan tubuhnya.

Dengan kelebihan kodrati itulah Jerry bahkan sanggup berkali-kali mengalahkan Tom. Ketika seorang anak yang duduk di bangku sekolah dasar kelas satu menyaksikan serial Tom and Jerry, dia tentu tidak punya niat untuk menyimak atau mengambil hikmah dalam cerita. Dia hanya menonton dan menikmati kelucuannya. Akan tetapi, secara bawah sadar, tertanamlah dalam kesadarannya bahwa yang besar tidak mesti menang.

Semakin sang anak menjadi besar dan memasuki usia remaja, kesadaran atas moral dan pelajaran dari serial Tom and Jerry itu diperkukuh oleh tontonannya tentang perseteruan yang tak seimbang dari sisi kekuatan. Taruhlah dia menonton film Gladiator atau dia suka menonton sepak bola dan menyaksikan fenomena Lionel Messi, yang bertubuh kecil dibandingkan rata-rata pemain bola asal benua Eropa. Akan tetapi, si kecil ternyata sanggup mengalahkan si besar.

Semua tontonan di televisi itu memberikan kemantapan visi pada sang anak bahwa untuk mempertahankan kesintasan dalam persaingan, si kecil perlu memanfaatkan kekecilannya, bisa dari segi kegesitan maupun kecerdikan tanpa harus memainkan jurus ketidakjujuran.

Namun, mengandalkan tontonan televisi tanpa dilengkapi dengan kegemaran membaca menjadi masalah sendiri bagi masa depan anak. Apalagi, kemampuan literasi, membaca teks, dan menulis teks menjadi salah satu fondasi bagi banyak profesi dunia modern.

Sesungguhnya, orang tua tidak perlu cemas jika mempunyai anak yang takgemar membaca. Pasalnya, anak-anak yang sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang memperlihatkan karakter segan membaca besar kemungkinan berubah ketika memasuki jenjang pendidikan tinggi.

Pertemuan dengan dunia perguruan tinggi akan mengubah seseorang dari keengganan membaca menjadi rajin membaca. Pada saat inilah biasanya seseorang mulai punya idola, entah pesohor dunia hiburan, pebisnis, olahragawan, atau negarawan.

Pada masa sekarang, siapa pun yang sudah terkemuka, pasti punya banyak kisah yang dituangkan dalam bentuk artikel, tulisan biografis, ataupun otobiografis. Kekaguman terhadap tokoh inilah yang akan menjadi pemicu bagi seseorang untuk membaca kisah hidup sang tokoh. Mulai saat itulah terasakan betapa nikmatnya membaca.

Ketika keseimbangan antara membaca dan menonton sudah dialami oleh seseorang, problem klasik yang didengungkan orang tua tentang bahaya kebanyakan nonton televisi sudah terlewati.

Apakah dengan demikian semuanya sudah selesai? Tentu tidak bagi mereka yang menetapkan standar tertentu dalam mengonsumsi bacaan atau film. Setiap orang punya selera berbeda dalam bacaan maupun film. Selera ini dicetak secara berkesinambungan dalam perjalanan hidup tiap orang.

Generasi yang mengalami masa kanak-kanak pada tahun 80-an dibesarkan oleh kisah-kisah yang kuat dalam alur cerita maupun perwatakan. Itu berbeda dengan generasi anak-anak sekarang yang antara lain dibesarkan dalam kisah-kisah yang mengutamakan kelucuan, keceriaan, dan keterhiburan.

Tengoklah misalnya serial film Baalveer, yang ditayangkan stasiun teve swasta selama dua jam setiap hari. Kisah absurd ini lebih banyak menghibur anak-anak dengan penggalan-penggalan episode yang surealis, yang tentu bukan medium yang pas buat menginternalisasikan tontonan yang ideal buat anak.

Untunglah zaman kebebasan sudah tiba. Anak-anak masih bisa menyaksikan film bermutu sebagai tontonan alternatif dari teve berbayar atau memutar sendiri film bermutu seperti Cinderella atau Frozen yang menghibur sekaligus memukai dari estetika sinematografis.

Jadi, sediakanlah anak-anak film bermutu jika mereka taksuka membaca teks. Pasalnya, menonton film bagus itu kurang lebih sepadan dengan membaca teks fiksi yang bagus. Itu kata salah seorang penyair penting yang masih hidup.