Pemadaman Listrik dan Dilema Sumber Energi

id Pemadaman Listrik di Lampung, Problem Kelistrikan di Lampung, Listrik Lampung, Listrik

Pemadaman Listrik dan Dilema Sumber Energi

PLTP Ulubelu di Kabupaten Tanggamus, Lampung, salah satu pusat pembangkit listrik dari energi panas bumi yang lebih ramah lingkungan dan dikelola bersama PT Pertamina Geothermal Energy. (FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Pemadaman listrik di beberapa daerah, termasuk di Provinsi Lampung, sudah semakin mengkhawatirkan.

Masyarakat sudah kehilangan harapan pada PT PLN agar listrik tak pernah lagi padam bergilir. PT PLN sendiri seolah tak mampu berbuat apa-apa, sehingga persoalan pemadaman akhirnya menjadi cerita bersambung. Bukan cerita kolosal sebagaimana di sebuah drama.

Indonesia, melalui PT PLN, mati-matian menyediakan cadangan energi listrik agar tetap stabil. Hingga kini, Indonesia hanya punya cadangan 10 persen dari total pembangkit. PLTU (uap) berkontribusi pada 46,7 persen suplai energi, PLTGU (gas) 19,3 persen, PLTD (diesel) 11,6 persen, PLTA (air) 9,9 persen, PLTP (panas bumi) 2,6 persen, dan EBT (energi terbarukan) 0,5 persen.

Saat ini, Indonesia berharap pada banyak investasi dan bantuan asing untuk membangun pembangkit listrik. Pembangkit listrik itu adalah PLTU dengan bahan bakar batu bara. Karena batu bara yang akan menjadi sumber energinya, maka jangan heran jika Tiongkok/China yang yang diandalkan. Sebab, Tiongkok/China adalah negara ekonomi kuat yang dibangun dengan sokongan energi yang berasal dari batu bara dengan mengabaikan dampak buruknya pada lingkungan.

Negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) bersepakat untuk menghentikan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara dengan menggunakan anggaran negara. Kecuali Tiongkok/China. Selain itu, Jepang dan Amerika Serikat juga bersepakat untuk menghentikan bantuan ke negara berkembang untuk alokasi bantuan pembangunan pembangkit energi listrik batu bara.

Kesepakatan ini akan mereka tandatangani pada UN Climate Change Meeting pada 30 November--11 Desember 2015.

Saat ini, Indonesia dalam posisi yang serba salah. Meskipun bukannya tak ada jalan keluar. Karena suplai energi listrik sangat terbatas, sementara kebutuhannya sedemikian tinggi, akhirnya Indonesia mengabaikan faktor keberlanjutan pembangunan dengan membangun pembangkit energi ramah lingkungan, yaitu dengan menggenjot pembangunan PLTU batu bara. Padahal posisi Indonesia adalah negara dengan cadangan batu bara 16 terbesar (0,5 persen cadangan dunia). Namun untuk ekspor Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai eksportir, dan urutan ke-6 sebagai produsen.

Sekarang, beberapa daerah seringkali mengalami pemadaman aliran listrik secara bergilir. Sampai saat ini program 10.000 MW atau 35.000 MW entah kapan terealisasi. Meskipun terealisasi, Indonesia tetap harus hati-hati karena batu baranya berkalori rendah, sehingga pencemarannya cukup berat, peralatannya juga tidak mampu mengolah secara baik sehingga menimbulkan banyak emisi dan limbah. Lambatnya realisasi pemenuhan energi listrik mengingatkan saya pada pepatah: biar lambat asal tidak selamat. Kenapa? Karena yang hendak dibangun ini adalah PLTU dengan potensi pencemar terbesar. Masyarakat pun harap-harap cemas dibuatnya. Karena pilihan kebijakan membangun PLTU ini, dari negara yang abai pada lingkungan pula, di satu sisi suplainya kita butuhkan, tapi di sisi lain ada pencemar yang mengintai masa depan negara dan bahkan dunia.

Semoga saja semangat Revolusi Mental pemerintahan saat ini, berwujud pula dalam penyediaan energi. Prinsipnya adalah; cepat segera bangun pembangkit listrik ramah lingkungan. Pasangan Jokowi-JK yang kini berkuasa, harus menjawab tantangan ini, sebagaimana yang sudah mereka tuangkan dalam visi misi dan komitmen mereka di kala memerintah. Sembari menunggu pemerintah berbuat, izinkan saya untuk mengatakan bahwa PT PLN sungguh terlalu. Pemadaman listrik bergilir ini sangat menyiksa masyarakat.

*) IB Ilham Malik, Mahasiswa PhD di Faculty of Environmental Engineering, Kitakyushu University, melalui Beasiswa Monbukagakusho, Ketua 1 PPI Jepang.