Bathoro Katong dan Sejarah Islam di Ponorogo

id Bathoro Katong, Islam di Ponorogo

Jawa Timur (ANTARA Lampung) - Bathoro Katong adalah tokoh yang berperan besar dalam sejarah masuknya agama Islam ke bumi reog Ponorogo di masa-masa akhir kejayaan Kerajaan Majapahit.

Karenanya masyarakat Muslim di Ponorogo dan sekitarnya sangat menghormati tokoh yang pertama kali memimpin Kadipaten Ponorogo ini.

Dikisahkan bahwa saat itu di daerah tersebut ada wilayah bernama Wengker, masih di bawah kekuasaan Majapahit. Penguasa wilayah Wengker adalah Ki Ageng Kutu atau Suryongalam yang dinilai melakukan perlawanan kepada Majapahit.

Mulyono, salah satu kerabat keturunan Bathoro Katong menjelaskan bahwa Bathoro Katong adalah salah satu putera dari Raja Majapahit Brawijaya V dan adik dari Raden Patah, Raja Demak.

Bathoro Katong kala itu mendapatkan tugas menyebarkan agama Islam di sebelah timurnya Gunung Lawu dan baratnya Gunung Wilis. Wilayah itu kini masuk Kabupaten Ponorogo, Magetan, Madiun, Ngawi, Pacitan dan Trenggalek.

Pada misi pertama untuk mengalahkan Ki Ageng Kutu sempat mengalami kegagalan. Namun setelah itu, Bathoro Katong berhasil, bahkan salah satu putri Ki Ageng Kutu, Niken Gandini, menjadi istrinya. Tercatat Bathoro Katong menjadi Adipati Ponorogo mulai 11 Agustus 1496 M, namun meninggal atau berakhirnya kekuasaannya tidak ada catatan pasti.

Ulama muda Ponorogo Fathur Rochman Effendie menjelaskan bahwa Bathoro Katong adalah peletak dasar tatanan di Ponorogo yang bernapaskan Islam. Bathoro Katong kemudian melahirkan adipati-adipati di tanah Jawa.

Ia menjelaskan bahwa dalam sebuah versi, sejarah tentang reog itu merupakan produk seni satire karya Ki Ageng Kutu yang merupakan bentuk kritik sarkastis kepada raja Majapahit Brawijaya V yang mulai mengakomodasi kepentingan Islam dalam pemerintahannya.

Kritik itu berupa dadak merak dalam reog di mana kepala harimau (simbol kekuasaan Majapahit) ditunggangi burung merak yang merupakan simbol pesolek atau perempuan. Dengan kata lain Majapahit dianggap banci oleh Ki Ageng Kutu. Dan reog itu ditampilkan di paseban kerajaan Majapahit.

"Walhasil, Prabu Brawijaya V marah besar dan mengutus putranya yang ke-21, yakni Raden Djoko Piturun, adik dari Raden Patah untuk menguasai wilayah Wengker. Raden Djoko Piturun adalah nama lain dari Raden Bathoro Katong," kata pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Hikmah Kauman, Kota Lama, Ponorogo ini.

Ia menyimpulkan bahwa kala itu Bathoro Katong mengemban dua misi, yakni secara politik berupa penumpasan kekuasaan Ki Ageng Kutu dan kedua, mendirikan keraton baru yang bernapaskan Islam di bumi Wengker yang kemudian bernama Ponorogo.

"Karena itu sebetulnya sejarah Ponorogo merupakan 'percumbuan' yang belum selesai antara Islam dan kejawen yang diwakili oleh reog. Barangkali dari sejarah inilah mengapa di Ponorogo selalu melahirkan apa yang disebut budaya tanding di setiap wilayah, sampai saat ini," katanya.

Menurut dia, sejarah itu juga kemudian melahirkan dua pilar utama kehidupan masyarakat Ponorogo. Pertama, melahirkan sosio budaya Islam yang kental unsur Demak dan Mataram. Kedua, budaya lama warisan Ki Ageng Kutu lewat komunitas warok (tokoh reog) yang berkembang subur di daerah pinggiran," katanya.

Mengenai nama Ponorogo sendiri, tokoh yang biasa dipanggil Gus Fathur ini menjelaskan berasal dari kata pramono atau memahami yang berubah menjadi pono atau fana atau rusak, sedangkan rogo berarti jasmani atau jasad. Maka Ponorogo dimaknai sebagai orang yang sudah faham keadaan lahir batin.

Sementara mengenai banyak peziarah ke makam yang terletak di Kelurahan Setono, Kota Ponorogo, Gus Fathur mengatakan sangat wajar karena Bathoto Katong dinilai sebagai tokoh besar dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut.

"Ziarah yang menjadi tradisi rutin di Ponorogo memiliki makna yang tidak hanya sarat arti spiritual, tapi juga sebagai bentuk menjaga budaya dan ajaran-ajaran leluhur. Dan yang paling utama dari ziarah itu adalah dzikrul maut atau mengingat mati," katanya.

Karena yang diziarahi adalah makam yang dianggap wali Allah, maka ziarah juga bermakna mengharap berkah Allah lewat wasilah para wali dan guru itu. Jadi bagi dia tidak bisa dianggap sebagai praktik beragama yang syirik karena semuanya tetap bersandar kepada kekuasaan Allah Swt.

Di kompleks makam yang bersebelahan dengan masjid dan sekolah itu, selain pusara Bathoro Katong, ada makam Ki Ageng Mirah (ulama atau sosok yang mengurusi masalah keagamaan), dan empat istri Bathoro Katong. Mereka adalah Niken Gandini dan tiga lainnya dari Madura, Demak dan Bagelen (Purworejo). Satu lagi tokoh penting yang bersama Bathoro Katong adalah patih Ki Selo Aji. Kompleks itu menempati areal seluas sekitar 4 hektare.

Sunardi, juru kunci Makam Bathoro Katong, menjelaskan bahwa rata-rata ada sekitar 700 sampai 1.000 orang setiap bulannya yang berziarah ke makam tersebut. Sementara saat menjelang puasa bisa sampai 500 orang setiap harinya.

Hari-hari lain, seperti saat garebek suro pengunjung bertambah ramai, termasuk saat peringatan hari jadi Kabupaten Ponorogo.

Budayawan asal Ponorogo Dr Sutejo mengemukakan bahwa banyak hal yang bisa didapat dari prosesi ziarah ke makam yang dianggap wali oleh masyarakat itu. Pertama, adalah berdzikir atau mengingat mati. Kedua, berharap berkah karena keunggulan si tokoh di masa hidupnya.

Demikian juga dengan tokoh Bathoro Katong yang sangat dihormati oleh masyarakat Ponorogo. Dengan banyaknya peziarah, hal itu menunjukkan bahwa si tokoh tetap memiliki energi atau "magnet" yang kuat, meskipun jasadnya telah tiada.

Bahkan dengan banyak pengunjung, masyarakat di sekitar lokasi juga mendapatkan berkah guna memenuhi keperluan para peziarah, seperti penjual makanan dan minuman, termasuk mereka yang mengelola parkir kendaraan.