Mengawal Rindu di Perbatasan

id Nasib Petugas Perbatasan Natuna

Natuna (ANTARA Lampung) - Mendung bergelayut sejak pagi, namun baru saja menumpahkan hujan deras pada siang hari yang menjadi berkah bagi puluhan personel TNI yang sedang bertugas di Pulau Sekatung, Kecamatan Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri.

Pulau yang berbatasan dengan Vietnam dan Malaysia itu, sejak 2006 telah ditempati TNI sebagai Pos Pengamanan Perbatasan (Pos Pamtas) Pulau Sekatung yang sebelumnya berada di Pulau Laut.

Selama sembilan bulan, sebanyak 20 personel TNI yang terdiri dari unsur marinir dari Yonif 8 Marinir Pangkalan Berandan, Medan dan angkatan darat dari Yonif 134 Tuah Sakti, Ranai, Natuna, harus rela melepaskan kerinduan berada di dekat orang-orang tercinta mereka untuk menjalankan tugas menjaga perbatasan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI).

"Beginilah keseharian kami, tadi baru saja hujan deras, amatlah berkah bagi kami karena kami dapat air bersih," ujar Komandan Pos Pamtas Pulau Sekatung Serka Marinir Danang Setiawan, saat ditemui di Pulau Sekatung jelang akhir Mei 2015.

Senyum ceria terguras diwajah lelaki tegab itu, keceriaannya bukan saja karena hujan baru turun setelah masa penantian berbulan-bulan tanpa air bersih, tapi juga dikunjungi seorang wartawan yang diakuinya sebagai wartawan pertama yang singgah di Pulau Sekatung.

Ia mengaku, walau bertugas sejak awal April 2015 di pulau yang luasnya sekitar 4 hektare itu, namun terasa telah berbulan lamanya meninggalkan keramaian atau berbincang dengan orang lain selain sesama rekannya di pulau yang menjadi tapal batas negara itu.

"Umumnya kami di sini telah berkeluarga, namun karena tugas kami harus berjauhan dengan keluarga. Semua personel yang bertugas di sini tidak boleh membawa keluarga," ujar Danang.

Menurut dia, ia bersama rekannya yang lain bertugas di pulau tersebut tidak hanya untuk menjaga dan mengawal tapal batas wilayah negara, tapi juga mengawal kerinduan pada sanak keluarga yang jauh.

"Kalau dibawa enjoi masa satu hari akan hilang dalam sekejab, namun kalau dibawa suntuk masa satu hari mungkin akan terasa berbulan-bulan," ujar Danang, seraya tertawa lebar.

Pulau Sekatung yang hanya dipisahkan selat kecil dari Pulau Laut sebelumnya merupakan pulau kosong, kemudian pemerintah daerah menempatkan lima keluarga untuk tinggal di pulau tersebut.

Pemda Natuna membangun lima unit rumah dan satu mushalla serta mensubsidi warga. Namun, warga yang berasal dari Pulau Laut tidak betah untuk mendiami pulau yang berkontur perbukitan itu, karena tidak ada air bersih.

"Air bersih memang menjadi kendala bagi kami di sini. Setiap hari kami memanfaatkan air laut untuk mandi dan keperluan lainnya," kata Danang yang berasal dari Yonif 8 Marinir Pangkalan Berandan, Medan.

Ia mengaku pada 2013 pemerintah pusat melalui Kementerian Pertahanan telah membangun berbagai fasilitas penunjang seperti solar sel untuk keperluan listrik, pemancar sinyal komunikasi, membangun pemecah ombak agar pulau tidak terus tergerus gelombang laut serta fasilitas pengolahan air bersih.

Satu unit pengolahan air bersih berada tidak jauh dari dermaga Pulau Sekatung, namun unit pengolahan air laut menjadi air bersih itu telah tidak lagi dimanfaatkan, karena besarnya biaya operasional.

"Untuk sekali pengolahan perlu 30 liter BBM. Kami di sini tidak punya biaya operasional dan itu sebabnya kami harus rela 'nyemplung' terus ke laut," ujar Danang yang disertai tawa renyah Kopda Marinir Rudik Hantoro, Intelijen Satgas Sekatung.

Bagi mereka, air laut nan jernih di perairan Natuna itu tidak lagi terasa asin atau kesat ditubuh, karena tubuh mereka telah kebal dengan air asin.
   
                                                     Komunikasi
Ketika disinggung perihal komunikasi dengan keluarga, baik Danang maupun Rudik mengakui walau tinggal di pulau terpencil yang berjarak sekitar 9 jam perjalanan dari Ranai, Ibu Kota Kabupaten Natuna memakai pompong (kapal kayu bermotor), mereka dapat berkomunikasi mengunakan telepon genggam.

"Di sini pemerintah telah menyediakan kami jaringan satelit. Cuma itu tadi harus berada di satu titik jika ingin menelepon," ujar Rudik seraya menunjuk satu kursi kayu yang berada di halaman rumah.

Pada bagian sandaran kursi kayu itu terlihat beragam telepon genggam yang diikat dengan cara bertumpuk, dan jika ada telepon berdering masing-maing anggota akan mendatangi kursi tersebut, karena deringan khas masing-masing "handphone".

"Bergeser saja sedikit, maka akan lenyaplah sinyal," ujarnya lagi.

Selain berkomunikasi berbicara langsung dengan telepon genggam, di pulau tersebut mereka dapat menfaatkan fasilitas jaringan internet yang juga kadang sinyal terganggu.

Perihal transportasi, menurut Danang mereka hanya memiliki satu pompong sumbangan Badan Intelijen Nasional (BIN) pada 2013, namun pompong tersebut kini dalam kondisi rusak dan berada di Pulau Laut.

"Pompong tersebut untuk patroli memang tidak layak, namun kami membutuhkannya untuk angkutan logistik. Tapi telah hampir sebulan ini rusak," katanya lagi.

Menurut dia, sejak bertugas di tapal batas negeri itu mereka tidak lagi berhadapan dengan nelayan asing yang melanggar batas perairan sejak adanya kebijakan tegas dari pemerintah dan tidak juga ada kapal asing yang membawa pengungsi.

"Tugas utama kami di sini adalah menjaga batas wilayah, Alhamdulillah masyarakat menerima kami dengan baik dan menjadi mitra sejati kami," ujar Danang.

Sekretaris Desa Tanjung Pala, Sailun saat ditemui di Pulau Laut mengatakan dulu pemerintah daerah menempatkan 5 kepala keluarga di Pulau Sekatung, tapi mereka tidak betah dan akhirnya menjadi Pos Pamtas TNI.

"Dulu tempat tinggal warga, tapi kini dah diserahkan ke TNI sebagai Pos Pamtas," kata Sailun.

Ia menambahkan, personel TNI yang beragama Islam dari Sekatung acap menunaikan Shalat Jumat bersama warga di Pulau Laut.

"Hari Jumat kesempatan mereka keluar pulau untuk beribadah. Walau jauh dari keluarga, tapi mereka tak melupakan ibadah," katanya.