Menangkap Takjub Matahari Terbit dari Kawasan Candi Borobudur

id Matahari Terbit di Borobudur

Magelang (ANTARA Lampung) - Momentum pagi itu hanya sekitar tiga menit ketika matahari dengan cahaya putih bersih berbentuk lingkaran belum memendar, terlihat dari kejauhan.

Ia menyembul seakan-akan persis dari titik pertemuan garis lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu untuk kemudian bergerak naik secara perlahan-lahan.

Penunjuk waktu model digital dari telepon seluler pada Kamis (21/5) pagi itu, terbaca pukul 05.53 WIB. Tiga menit kemudian, puluhan pasang mata pengunjung Bukit Purwosari tak mampu lagi menangkap "sang raja siang" itu karena cahayanya telah menyilaukan.

Keluar secara spontan dari mulut hampir setiap orang di bukit itu, sepatah kata-sepatah kata yang berbeda-beda dengan nada seru, untuk mengungkapkan takjub atas peristiwa matahari terbit pagi itu.

"Wow!", "Ayo!", "Terus!", "Ye!", "Hebat!", begitu terdengar suara mereka dari tempat berdiri masing-masing di ketinggian sekitar 400 meter dari permukaan air laut, di kawasan warisan peradaban dunia, Candi Borobudur.

Suasana takjub dengan irama kata-kata yang keluar tak lebih dari sepatah untuk setiap pengunjung Bukit Purwosari itu, bagaikan telah menjadi rangkuman panjang suatu pujian syukur karena keagungan Tuhan Pencipta Jagat Raya melalui peristiwa tersebut.

Tentu saja mereka yang puluhan peserta pendidikan dan latihan fotografi cagar budaya berasal dari berbagai daerah di Indonesia itu, tak lupa memanfaatkan momentum matahari terbit untuk melakukan pemotretan.

Penyelenggara diklat fotografi cagar budaya, yakni Balai Konservasi Borobudur, memilih Bukit Purwosari sebagai salah satu lokasi praktik lapangan, khususnya untuk memotret panorama. Sejumlah petugas BKB mendampingi mereka pada kesempatan itu, antara lain Mura Aristina, Syamsul, Pramudianto, dan fotografer senior yang juga pensiunan BKB Suparno.

Suparno yang juga warga sekitar Candi Borobudur menjadi penemu lokasi menarik untuk pemotretan matahari terbit di antara Gunung Merapi dan Merbabu, dari Bukit Purwosari itu, setelah menjajakinya dengan tekun sejak 2007.

Hingga saat ini, potongan kayu dari pohon jambu mete berdiameter sekitar 15 centimeter, tempatnya berdiri untuk melakukan pemotretan pertama kali atas momentum tersebut, masih berada di lokasi.

Bukit Purwosari dengan banyak pohon seperti mahoni dan sonokeling, masuk wilayah Dusun Wonotigo, Desa Kembanglinmus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sebagian wilayah lainnya dari bukit itu, masuk Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur.

Nama "Wonotigo" (tiga hutan) untuk dusun tersebut, pada masa lalu meliputi hutan Purwosari, Ndosari, dan Tegalombo. Kawasan hutan tersebut pada masa Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu lokasi gerilya Pangeran Diponegoro melawan pemerintah kolonial Belanda.

Masyarakat setempat menyebut nama Kiai Wono sebagai cikal bakal dusun itu. Kiai Wono adalah anggota pasukan Pangeran Diponegoro, sedangkan setiap Kamis pertama pada Bulan Ruwah (kalender Jawa), warga melakukan tradisi Sadranan, berupa kenduri di Masjid Baittusalam Dusun Wonotigo. Jumlah warga setempat saat ini sekitar 57 keluarga dengan kepala dusun Findi Lestari.

"Hari ini juga kebetulan bertepatan dengan masyarakat melakukan tradisi 'nyadran' (sadranan, red.), untuk mendoakan arwah para leluhur dusun," kata Mura Aristina yang juga Penasihat Kelompok Masyarakat Pengelola "Purwosari Sunrise" Dusun Wonotigo.

Letak Bukit Purwosari sekitar tiga kilometer barat daya Candi Borobudur. Bukit itu pula menjadi salah satu lokasi penting para taruna Akademi Militer melakukan latihan olah keprajuritan, sebagai calon perwira muda TNI.  

Sambil menyeruput teh hangat dan menyantap singkong rebus yang disiapkan warga setempat, seorang peserta diklat yang juga pegawai Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, bernama Singgih menyampaikan kesannya yang seolah masih ingin berlama-lama memandang matahari terbit dari bukit itu.

Mulai sekitar pukul 05.56 WIB, cahaya matahari sudah memancar dengan tangguhnya sehingga menyilaukan mata. Pada hari itu, momentum matahari terbit hanya terlihat enak dipandang mata selama sekitar tiga menit.

Mereka yang pagi itu berada di Bukit Purwosari, adalah pengunjung yang beruntung pada tahun ini karena mendapatkan kesempatan menyaksikan takjubnya matahari terbit persis di antara Gunung Merapi dan Merbabu.

Bukit Purwosari salah satu di antara sejumlah lokasi pemotretan panorama matahari terbit yang ditemukan Suparno dalam penjelajahannya secara tekun selama bertahun-tahun, termasuk berinteaksi dengan warga desa-desa, di kawasan Candi Borobudur.

Ia menghitung dengan cermat tentang perputaran bumi mengelilingi matahari dalam setiap tahun sehingga diketahui posisi matahari saat bulan-bulan tertentu, yakni di utara atau di selatan garis katulistiwa.

Begitu pula, ia menghitung saat yang tepat untuk mendapatkan gambar pemotretan ketika matahari terlihat seakan terbit persis di atas stupa puncak Candi Borobudur, yakni pada Maret dan September. Sedangkan gambar pemotretan matahari terbit persis di antara Merapi dan Merbabu, bisa diperoleh dari Bukit Purwosari pada sekitar akhir Mei.

Selama beberapa hari ke depan, terhitung sejak Kamis (21/5), posisi terbit matahari akan terlihat di antara dua gunung yang tampak menjulang kukuh, tinggi, dan jauh tersebut, dari di Bukit Purwosari yang menjadi bagian dari deretan Pegunungan Menoreh.

"Antara tiga sampai lima hari masih akan terlihat seperti itu, sebelum bergeser," kata Mura Aristina yang juga petugas bagian Hubungan Masyarakat BKB.

Selain menyaksikan matahari terbit dari bukit itu, wisatawan juga bisa menikmati keelokan panorama kabut yang menyusup di antara hamparan pepohonan, sehingga terlihat Candi Borobudur bagaikan berada di lautan kabut yang menakjubkan. Terlihat pula dari tempat itu, keindahan perubahan warna langit dari temaram dengan merah kekuningan menjadi biru di balik Gunung Merapi dan Merbabu.

                                                                Dirintis Warga
Sejak awal 2015, warga setempat secara mandiri merintis Bukit Purwosari sebagai objek wisata kawasan Candi Borobudur. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) kemudian memasukkan Bukit Purwosari sebagai salah satu desa wisata binaannya di kawasan Candi Borobudur.

Hingga saat ini, pengelola tidak menarik pungutan wajib dalam jumlah tertentu untuk pengunjung yang hendak berwisata di bukit tersebut. Mereka hanya mengenakan tarif parkir kendaraan di halaman rumah warga dan iuran sukarela dari pengunjung.

Wisatawan yang hendak ke puncak bukit untuk menyaksikan matahari terbit, harus berangkat dari halaman parkir kendaraan di Dusun Wonotigo saat hari masih menggenggam gelap.

Warga setempat juga telah memasang beberapa lampu penerang di jalan setapak dan berundak dari kampung menuju puncak bukit. Beberapa tempat juga didirikan papan dari bambu untuk duduk dan istirahat, sedangkan jalan berundak-undak telah mereka pasangi potongan-potongan bambu agar memberikan kenyaman kepada wisatawan yang hendak menuju puncak bukit.

"Jam 05.00 WIB sebaiknya sudah sampai di atas," kata Suparno ketika meminta peserta diklat fotografi cagar budaya BKB menuju bukit itu.

Petugas pengelola "Purwosari Sunrise" pun kemudian membagikan tongkat bambu, masing-masing sepanjang 1,5 meter, kepada mereka untuk menyamankan langkah kaki dalam pendakian.

"Kalau hari biasa yang berwisata ke Bukit Purwosari antara 5-10 wisatawan, kalau Sabtu dan Minggu bisa 20-30 pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri," kata Mura.

Wisman yang pernah ke bukit itu, antara lain dari Jerman, Inggris, dan  Italia, sedangkan wisnus dari sejumlah daerah, termasuk kalangan pelajar.

Ketika matahari makin beranjak tinggi hingga membelah langit gelap menjadi terang dan mengubah temaram menjadi pagi menawan, wisatawan "Purwosari Sunrise" meninggalkan tempat itu, menyusuri jalur lain dengan melewati Bukit Rima, tempat bangunan raksasa berbentuk burung merpati sebagai tempat persinggahan berikutnya.

Selanjutnya, mereka menyusuri jalan desa dengan melewati dua alur sungai kecil berjembatan bambu, "sesek", untuk kembali ke tengah perkampungan warga Dusun Wonotigo.

Siang di Bukit Purwosari pada hari itu telah menjulang. Namun, momentum matahari terbit tepat di antara Gunung Merapi dan Merbabu, dipastikan menjadi kenangan wisatawan.

Tentunya, wisatawan diharapkan berkabar kepada lainnya atau bahkan mereka sendiri berkeinganan lagi memperkuat kenangan takjub matahari terbit yang terlihat dari bukit dengan pepohonan rindang di kawasan Candi Borobudur.

Dari Bukit "Purwosari Sunrise" wisatawan diajak alam secara begitu saja, untuk menarik daya-daya ucap pujian, "Wow!", "Ayo!", "Terus!", "Ye!", "Hebat!"