Kasus Nenek Sarniti, Hukum yang Tajam ke Bawah

id Kasus Nenek Sarniti

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih cenderung "tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah", sehingga seringkali menjadi sorotan dan kritik dari publik.

Menyusul sejumlah kasus hukum dialami kalangan orang tak berpunya (miskin) dan awam hukum termasuk mereka yang telah berusia lanjut, dalam kasus pelanggaran yang tergolong ringan, kini muncul lagi kasus nyaris serupa di Lampung.

Nenek Sarniti (50), pedagang gorengan dan minuman kopi di Pasar Pasir Gintung Bandarlampung harus terjerat kasus hukum yang dialaminya pada 20 Juni 2014 lalu, sekitar setahun lalu.

Saat itu, di Pasar Pasirgintung Bandarlampung, nenek lima cucu ini, pada pukul 11.00 WIB mendapatkan pesanan kopi dari pelanggan karyawan toko buah-buahan, sehingga dia segera melayani pesanan tersebut.

Pada sore harinya, sekitar pukul 17.00 WIB, nenek Sarniti seperti biasanya mengumpulkan kembali piring tatakan minum dan gelas yang telah digunakan.

Diduga tanpa menyadarinya, piring untuk tatakan gelas dari penjual kopi yang lain, ikut pula dikumpulkan dan dibawanya karena kebetulan warnanya serupa.

Ternyata, setelah merasa piringnya ikut pula dikumpulkan oleh nenek Sarniti itu, penjual kopi yang lain juga tetangganya, Marlis Tanjung (50), lantas menuduh nenek Sarniti telah mencuri piringnya.

Ia pun melabrak Sarniti. Namun karena merasa bersalah, Sarniti kemudian segera meminta maaf.

Tapi hal itu tidak mengurangi kemarahan Marlis Tandjung yang terus mencaci-maki Sarniti, sehingga terjadi keributan antara keduanya hingga menimbulkan perkelahian.

Marlis Tandjung sampai memukul dan mencakar Sarniti, sehingga kemudian Sarniti melaporkannya ke Polsek Tanjungkarang Barat dengan tuduhan penganiayaan.

Belakangan, akibat laporan ini membuat Marlis Tandjung harus divonis satu bulan penjara.

Diduga karena merasa dendam kepada Sarniti yang semula adalah karyawannya, di luar pengetahuan Sarniti, ternyata Marlis Tandjung juga membuat laporan balik ke polisi mengenai kasus pencurian piring tatakan gelas yang telah dilakukan oleh Sarniti.

Atas laporan tersebut, sekitar satu tahun berselang kemudian Sarniti harus menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.

Nenek Sarniti menuturkan kejadian dialaminya, saat pertemuan di kantor LBH Bandarlampung beberapa hari lalu, seraya menetaskan air mata, mengisahkan kembali peristiwa telah terjadi hampir setahun berlalu tersebut.

Dia mengaku, tidak menyangka kekhilafannya yang telah salah mengambil tatakan gelas saat itu, kini membuatnya harus berurusan dengan pihak kepolisian dan pengadilan.

"Padahal saya sudah minta maaf karena salah ambil piring itu, ternyata dipanggil sama polisi atas laporan pencurian," katanya lagi.

Sarniti kembali menegaskan bahwa dia secara tak sengaja telah mengambil tatakan gelas kopi yang dia dikira miliknya. Dia mengaku hanya salah mengambil tatakan gelas itu.

Ia baru sadar ternyata salah ambil tatakan gelas, karena piring milik Sarniti memiliki kesamaan bentuk dan warnanya dengan milik Marlis Tanjung, hanya berbeda warna cat, tatakan milik Sarniti bercat coklat sedangkan milik Marlis Tanjung berwarna biru.

Namun permintaan maafnya kepada Marlis Tanjung tidak diterima, bahkan tetap menuduh Sarniti sebagai pencuri. Pertengkaran pun terjadi, sampai kaca gerobak milik Sarniti dipecahkan dan dia mengaku sempat dipukul.

Ia sendiri baru tahu jika peristiwa itu dilaporkan balik dengan tuduhan pencurian, saat surat panggilan kepadanya sebagai saksi disampaikan oleh Polsek Tanjungkarang Barat yang telah diterimanya.

"Saya pikir sudah selesai, kok taunya saya malah dilaporkan mencuri. Saya kaget dan sedih. Saya yang jadi korban kok malah dilaporkan jadi pencuri," katanya pula.

Sarniti telah dihubungi oleh penyidik polsek setempat bahwa dia harus menjalani sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang pada Selasa (5/5) kemarin. Namun sidang ditunda karena pelapor sakit.

Menghadapi kasus itu, menurut Nurul Hidayah, salah satu pengacara yang mendampingi Sarniti, menyatakan menyesalkan pelaporan atas tuduhan pencurian tatakan gelas di Pasar Pasir Gintung itu yang sebenarnya termasuk dalam tindak pidana ringan (Tipiring) seharusnya bisa selesai dengan musyawarah dan perdamaian kedua belah pihak.

Menurutnya, proses perkara Tipiring memang tidak melalui kejaksaan, tapi dari pihak kepolisian langsung ke pengadilan.

Sebanyak sekitar 10 orang pengacara telah menyatakan bersedia membela Sarniti, nenek yang juga pedagang kecil ini.

Pihak pengacara Sarniti juga mempertanyakan hanya ada surat panggilan sebagai saksi untuk Sarniti, tetapi saat di polsek, penyidik tiba-tiba mengatakan Sarniti dipanggil untuk menghadiri persidangan perkara pencurian ini.

                                                     Upaya Damai
Kapolsek Tanjungkarang Barat Komisaris Ketut Suryana mengatakan bakal mengupayakan perdamaian terkait kasus pencurian tatakan piring yang dilaporkan atas nama Sarniti.

Namun, Ketut mengaku, sebelumnya juga telah berupaya mendamaikan kedua pelapor dan terlapor, Sarniti dan Marlis Tanjung. Ternyata, keduanya tak bersedia berdamai dan saling melaporkan. "Keduanya sudah dipertemukan untuk didamaikan. Namun, karena tidak ada kemauan perdamaian dari mereka, kami tetap proses sesuai prosedur," katanya pula.

Kasus dialami Sarniti ini, ternyata didengar pula oleh Wali Kota Bandarlampung Herman HN. Dia pun menemui nenek Sarniti pada Sabtu (9/5) untuk berbincang-bincang dengannya dan warga lainnya.

Wali Kota Bandarlampung ini berharap kedua pihak yang bertikai bisa segera berdamai. "Saya berharap kedua pihak bisa damai. Ini `kan urusan kecil," ujar Herman HN.

"Apa yang nggak bisa damai di dunia ini. Kalau kita damai, saya yakin kita semuanya akan damai tenteram. Saya ingin bagaimana rakyat ini aman tenteram rukun dan damai," kata Herman pula.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung juga menyatakan prihatin melihat kasus hukum harus dijalani Sarniti, nenek lima cucu, pedagang minuman kopi di Pasar Pasir Gintung Bandarlampung yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencurian piring tatakan gelas.

"Kasus nenek Sarniti ini menunjukkan bertambah potret buram rentetan neraca keadilan yang timpang pada si miskin baik secara ekonomi maupun pengetahuan terjerat hukum di negeri ini, sementara banyak kasus besar apalagi korupsi belum tertangani dengan baik," ujar Direktur LBH Bandarlampung Wahrul Fauzi Silalahi, Minggu (10/5).

Menurutnya, tidak sepatutnya untuk kasus tatakan gelas yang nominal materinya lebih kurang Rp1.500 sampai dengan Rp2.000 itu kasusnya sampai kepada pengadilan yang akan berujung vonis kurungan badan dan denda materi kepada nenek Sarniti, penjual gorengan dan kopi ini.

"Kami dari LBH Bandarlampung dan advokat yang lain akan turun untuk membantu dan mendampingi klien kami nenek Sarniti untuk kepentingan lepas dari jeratan hukuman palu majelis hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang," ujarnya menegaskan.

Wahrul menyatakan bahwa Sabtu (9/5) kemarin sebenarnya sudah hampir menemui titik temu untuk dilakukan perdamaian dari pihak pelapor dan nenek Sarniti itu, telah difasilitasi oleh Wali Kota Bandarlampung Herman HN dan Lurah Pasir Gintung, namun belum menemui titik temu.

Pihak penasihat hukum dari Sarniti, menurutnya, sangat mengapresiasi atas aktifnya Pemerintah Kota Bandarlampung dalam memfasilitasi solusi terbaik perkara ini agar jangan sampai masuk ke peradilan, karena kasus ini masuk ke dalam tindak pidana ringan (Tipiring).

"Mudah-mudahan satu sampai dua hari ini ada perdamaian, karena memang upaya damai yang dilakukan oleh pihak penyidik Polsek Tanjungkarang Barat belum juga menemui ttitik temu, artinya kalau sampai dalam dua hari tidak adanya perdamaian menurut hasil koordinasi kami kepada penyidik, akan dilakukan sidang dalam minggu ini," ujar Wahrul lagi.

Dia menilai, menurut tuduhan kepada nenek Sarniti itu adalah dugaan tindak pidana pencurian, pihaknya melihat tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana pencuriannya, karena dalam proses terjadi peristiwa hukum ini, nenek Sarniti hanya salah mengambil tatakan gelasnya di toko depan setelah dia mengantarkan kopi.

Apalagi, katanya pula, pada saat kejadian 20 Juni 2014 di Pasar Pasirgintung Bandarlampung itu, nenek Sarniti telah memulangkan tatakan gelas tersebut dan telah meminta maaf karena telah salah mengambil tatakan gelas itu.

"Pertanyaan adalah yang mana barang yang dicuri, dan kerugian korbannya apa, dan dimana niat jahat nenek Sarniti karena benar-benar tatakan gelas tersebut warnanya sama dengan tatakan gelas miliknya, dan tatakan gelas itu telah pula dipulangkannya," kata Wahrul lagi.

LBH Bandarlampung berharap, tim pembela nenek Sarniti untuk bisa melakukan langkah bersama dan berangkat dari hati nurani yang baik, agar mengupayakan jangan sampai kasus ini masuk ke pengadilan.

"Namun ketika kasus ini tetap harus masuk ke tahapan persidangan pun, kami sudah siap untuk mengikuti proses pembelaannya," ujar Wahrul pula.

Agaknya semua pihak tetap berharap agar kasus-kasus terbilang ringan yang terjadi di tengah masyarakat seperti dialami nenek Sarniti dan warga lainnya, tidak serta merta berlanjut ke proses hukum, sehingga hukum yang tumpul ke atas tapi tetap tajam ke bawah tak lagi terus berlangsung di negeri kita ini.

Penegakan hukum itu berlaku adil bagi semuanya, tidak hanya tajam ke bawah, berlaku untuk orang miskin atau warga tidak mampu dan awam hukum yang lemah, tapi tumpul dan tidak diberlakukan bagi para orang kaya atau mereka yang kuat dan memiliki kuasa.

"Penegakan hukum itu prinsipnya semua sama sederajat di hadapan hukum atau equal before the law," ujar Wahrul Fauzi Silalahi menegaskan pula.