Visi Membangun Ekonomi Kreatif

id Ekonomi Kreatif

Jakarta (ANTARA Lampung) - Pemerintah yang kini sedang menggalakkan pertumbuhan ekonomi kreatif agaknya perlu mendengar suara dari kalangan sastrawan, antara lain Goenawan Mohamad, dalam membangun pekerja kreatif sebagai agen pertumbuhan ekonomi kreatif di masa depan.

Esais yang juga penyair itu melihat bahwa berbagai pertemuan yang digelar pemerintah untuk mengumpulkan para seniman, budayawan dan tokoh pekerja kreatif dalam ajang yang memakan dana besar sudah saatnya dievaluasi kembali.

Pertemuan semacam itu hanya menghabiskan dana dan sering tidak menghasilkan sesuatu yang konkret, kecuali silang pendapat yang tak berfokus. Sebagai gantinya, dana yang besar itu sebaiknya dialihkan untuk membiayai pertemuan-pertemuan yang punya fokus dalam skala kecil, membiayai penerbitan karya-karya kreatif, membiayai kelompok teater dan tari agar mereka bisa berlatih secara rutin.

Pertumbuhan pekerja kreatif memang tidak secara langsung dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi kreatif. Apalagi bidang-bidang seni yang diusulkan untuk didanai bukan bidang-bidang seni yang bisa dikonsumsi publik secara massal.

Namun, dampak tak langsungnya tentu akan terasa dalam jangka panjang. Taruhlah untuk bidang teater. Jika kepedulian pemerintah pada dunia teater cukup tinggi, dengan memberikan dana bagi kelompok-kelompok teater yang ada, maka kehidupan teater di Tanah Air akan menggembirakan. Pada gilirannya akan lahir pekerja-pekerja teater yang terpandang seperti WS Rendra, Arifin C Noer, dan Teguh Karya.

Ketiga tokoh teater itu memang tak menyumbangkan pertumbuhan ekonomi kreatif secara langsung, dalam arti bisa menghasilkan pemasukan yang bisa diukur secara kuantitaif dalam bentuk rupiah.

Namun efek tak langsung kehadiran tokoh-tokoh tersebut antara lain menghasilkan pekerja-pekerja kreatif entah dalam bidang penulisan atau sinematografi.

Kehadiran tokoh-tokoh itu menyumbang bagi peningkatan kualitas estetika dunia penciptaan berbagai bidang seni. Para seniman yang pernah belajar di bawah gemblengan WS Rendra, Arifin C Noer dan Teguh Karya telah memberi andil juga dalam penciptaan karya kreatif.

Ekonomi kreatif yang dihasilkan pekerja kreatif domestik memang tak bisa dikomparasikan dengan apa yang dihasilkan para pekerja kreatif global yang bekerja di pusat-pusat seni Amerika serikat seperti Hollywood, misalnya.

Sedikitnya, jika pekerja kreatif, bidang seni apa pun, di Tanah Air mengalami peningkatan mutu secara kontinu dari waktu ke waktu, gempuran masuknya impor karya-karya kreatif akan bisa distop.

Sebagai contoh, saat ini banyak televisi domestik yang mengimpor karya-karya sinematografi dari India, Amerika Latin, Jepang  dan Malaysia. Derasnya impor karya-karya kreatif yang ditayangkan di televisi domestik ini pastilah berkaitan dengan belum banyaknya karya-karya kreatif dalam negeri yang berkualitas yang bisa diproduksi oleh pekerja kreatif di Tanah Air.

Pengembangbiakan jumlah pekerja kreatif perlu ditambah secara terus-menerus. Ini penting untuk menghasilkan karya kreatif sebanyak mungkin untuk meenuhi komsumsi masyarakat yang tak bisa lepas dari kebutuhan mereka akan karya-karya tersebut sebagai sumber hiburan.

Yang menarik, karena penyandang dana dunia seni (maesenas) di Indonesia sangat langka, terutama dari kalangan pemerintah, sebagai akibat anggaran untuk hal itu tak pernah dialokasikan, maka di Tegal sekitar 20 tahun silam ada penyair yang punya gairah untuk memberi hadiah uang bagi sesama penyair yang berkarya dengan bagus.

Tentu pola penggairahan individual semacam ini bukanlah sebuah sistem yang menghadirkan dampak besar bagi tumbuhnya pekerja kreatif dalam masyarakat.

Pengertian ekonomi kreatif selama ini memang dipahami terbatas pada aktivitas para pekerja kreatif yang menghasilkan produk-produk kreatif. Di Indonesia, mereka yang bisa menghasilkan produk kreatif yang menyumbang pendapatan negara masih terbatas pada kalangan disainer grafis, pembuat fim, musisi, perajin produk kreatif, dan belum meliputi pekerja kreatif dalam arti seluas-luasnya, seperti penyair, penulis, pekerja teater.

Kalau toh mereka memberikan sumbangan, jumlahnya belum signifikan. Dalam dunia novel, sedikit banyak karya-karya Pramoedya Ananta Toer telah menghasilkan pendapatan yang bisa dimaknai sebagai sumbangan dalam bidang eknomi kreatif. Begitu juga dengan beberapa karya Andrea Hirata.

Drama di tanah air sebetulnya bisa didongkrak untuk menjadi seni pertunjukan yang menghasilkan atau menyumbang ekonomi kreatif seperti halnya yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok opera musikal di Broadway, AS.

Untuk seni rupa, sebagian karya-karya pelukis ternama seperti Raden Saleh telah menjadi incara para kolekter dunia. Artinya, jagat seni rupa Indonesia kontemporer juga berpotensi mengikuti jejak karya-karya Raden Saleh.

Berpijak pada perspektif inilah apa yang digaungkan oleh eseis Goenawan Mohamad agar pemerintah mengalihkan pembiayaan untuk acara-acara yang kurang berfantaat bisa direalisasikan.

Usul yang berdampak dalam jangka panjang ini tentu tak banyak diminati oleh kalangan birokrat yang kurang mengapreasiasi jagat seni kreatif yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi kreatif.

Diperlukan birokrat-birokrat visioner untuk bisa menerima dan mewujudkan usul penulis Catatan Pinggir itu.

Dengan mengalokasikan dana rakyat untuk membangun lahirnya karya-karya kreatif demikian maka pemerintah sama saja dengan menginvestasikan sumber dana untuk tumbuhnya kekuatan ekonomi kreatif di masa depan.