Pesan Terakhir "Kartini Madura" Sebelum Dieksekusi

id Eksekusi Siti Zaenab

Surabaya (ANTARA Lampung) - Kala itu, wajahnya terlihat lebih bersih, kelihatan lebih putih. Aku lihat rambutnya terlihat panjang hingga sepantat.

Tetesan air mata langsung mengalir deras, dan dia langsung memelukku. Aku pun demikian.

Begitulah Halimah, mengawali cerita pertemuan terakhirnya dengan adik kandungnya, Siti Zaenab, di penjara Madinah, akhir Maret lalu.

Saat itu, Halimah datang ke Arab Saudi bersama anak sulungnya, Syariddin, atas bantuan pemerintah Indonesia, yang memfasilitas mereka untuk bertemu Siti Zaenab.

Halimah diberi kesempatan bertemu dengan adik kandungnya selama dua hari, yakni pada tanggal 24--25 Maret 2015.

Banyak hal yang diperbincangkan. Dari menanyakan kabar tentang keluarga yang ada di Bangkalan, Madura, hingga kondisi kedua anak Ali Ridho dan Syarifuddin yang ditinggalkannya sejak kecil, atau sejak Siti Zenab berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI pada tahun 1998.

Siti Zaenab juga menceritakan bahwa selama dirinya berada di penjara Madinah,  selalu menghafal Alquran, bahkan telah berhasil menghafal 11 jus Alquran.

Saat menanyakan kabar tentang kedua anaknya, Siti Zaenab kembali menangis histeris.

"Sambil memelukku dengan kuat, Zaenab berkata, 'aku titip kedua anakku, ya, buk'," katanya menirukan pesan yang disampaikan Zaenab kepada dirinya.

"Mbuk" merupakan bahasa Madura yang artinya kakak. Panggilan ini khusus untuk kakak perempuan.

"Si Syarifuddin kan meski datang ke sana bersama, dia tidak mau bertemu langsung dengan ibunya karena dia tidak tega untuk menemui langsung, apalagi dia akan dihukum mati," tutur Halimah.

                                                    Demi Anak
Terpidana mati Siti Zaenab, TKI asal Desa Martajasa, Kabupaten Bangkalan, Madura, itu meninggalkan dua orang anak, yakni Moh Ali Ridho (17) dan Syarifuddin (21).

Kedua anaknya itu merupakan hasil perkawinannya dengan orang Makassar saat dia bekerja sebagai TKI di Malaysia, atau sebelum yang bersangkutan menjadi TKI di Arab Saudi.

"Nikahnya di Malaysia, tetapi suaminya kemudian meninggal dunia karena mengalami kecelakaan," kata Kepala Desa Martajasa Rahmad.

Sebelum berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI, Siti Zaenab berjualan kopi di kompleks pemakaman Syaichona Kholil Bangkalan.

Namun, dari usaha yang dia jalani itu, rupanya tidak cukup untuk menghidup kedua anaknya sehingga Zaenab membulatkan tekad untuk bekerja kembali di luar negeri menjadi TKI.

Akhir 1998, Zaenab berangkat menjadi TKI dengan tujuan  Arab Saudi saat putra keduanya Ali Ridho masih bayi.

Kala itu, dia berangkat melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), PT Panca Bayu Aji Sarti, yang berada di Jakarta.

Zaenab berangkat ke Arab Saudi bersama enam orang asal Bangkalan, yakni dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Salah satunya bernama Agus Rianto, sepupunya sendiri.

Namun, sesampainya di Arab Saudi, Agus dan Zaenab berbeda tempat bekerja. Agus diterima sebuah restoran, sedangkan Zaenab menjadi pengasuh bayi hingga akhirnya terjadi kasus pembunuhan itu.

"Selama di Arab itu, kami tidak pernah bertemu lagi dengan Mbak Zaenab, kecuali saat hendak berangkat itu saja. Kami berangkat melalui PT yang sama," kata Agus yang masih saudara sepupuh Zaenab itu.

Kabar tentang pembunuhan yang dilakukan Siti Zaenab terendus keluarganya di Bangkalan, Madura, atas informasi yang disampaikan Kementerian Luar Negeri sekitar tahun 2000 setelah pengadilan di Arab Saudi memvonis hukuman pancung terhadap ibu dua orang anak ini.

                                                      Upaya Pembebasan
Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid kala itu telah melakukan upaya diplomatik, menunda eksekusi mati Zaenab dengan meminta pengampunan kepada ahli warisnya.

Upaya pemerintah membebaskan Siti Zaenab terus dilakukan hingga Presiden RI Joko Widodo saat ini. Bahkan, pemerintah telah menawarkan pembayaran diyat (uang darah) melalui Lembaga Pemaafan Madinah sebesar 600.000 riyal Saudi atau sekitar Rp2 miliar.

Di Madura, upaya membebaskan Siti Zaenab juga dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat, baik di Bangkalan, Sampang, maupun di Kabupaten Pamekasan.

Pada sekitar Maret 2014, sekelompok aktivis pemuda dan mahasiswa Pamekasan, Madura, menggalang koin untuk Zaenab.

Para aktivis itu berkeliling ke setiap ruang kerja pejabat di Kantor Bupati dan DPRD Pamekasan menggalang dana untuk pembebasan TKI Siti Zaenab, dan berlangsung hingga selama sepekan.

Para aktivis ini merasa prihatin dan meyakini bahwa aksi pembunuhan yang dilakukan Zaenab terhadap majikannya karena dalam kondisi terpaksa dan dalam rangka membela diri dan kehormatannya.

"Keyakinan kami karena dia perempuan dan dalam tradisi Madura, tidak mungkin perempuan melakukan tindakan nekat dan melakukan pembunuhan, kecuali dia membela kehormatan dirinya," kata aktivis pemuda Pamekasan Faridi.

Namun, menurut Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Moh Iqbal, yang menjadi kendala dalam pembebasan TKI Zaenab itu bukan karena uang tebusan, melainkan karena tidak dimaafkan oleh ahli warisnya, yakni anak dari majikan yang dibunuhnya itu.

"Kemenlu telah berusaha melakukan upaya pembebasan terhadap Siti Zaenab, antara lain dengan upaya pemaafan hingga menawarkan 'diyat' kepada pihak keluarga," katanya.

Namun, majikan Siti Zaenab adalah orang kaya sehingga anak bungsu majikannya tidak mau memaafkan dan akhirnya dia dieksekusi mati.

Dalam kasus pembunuhan, memang jalan satu-satunya yang harus ditempuh meminta pengampunan dari ahli warisnya secara langsung. Pihak kerajaan Arab Saudi tidak punya kewenangan untuk memaafkan.

"Dahulu, saudara Raja Arab Saudi pernah membunuh warga Arab di London, ya, tetap dihukum 'qishash' karena keluarga tidak memaafkan, jadi kerajaan tidak punya kewenangan memaafkan atau membebaskan," paparnya.

                                                         Berbelasungkawa
Eksekusi mati terhadap TKI Siti Zaenab memang menjadi perhatian masyarakat dan para pemegang kebijakan di negeri ini.

Sehari setelah eksekusi mati terhadap Siti Zaenab di Madinah pada hari Selasa (14/4) pukul 10.00 waktu setempat, sejumlah pejabat negara berkunjung ke rumah TKI asal Bangkalan itu di Desa Martajasa, Kecamatan, Bangkalan.

Mereka itu antara lain Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Moh Iqbal, Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Ketenagakerjaan Reyna Usman dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.

Mereka datang dan bertemu dengan saudara Siti Zaenab dan anaknya secara langsung, kemudian menyampaikan belasungkawa atas kejadian yang menimpa perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya itu.

Satu hal yang menjadi pernyataan para pejabat yang datang ke Bangkalan ini bahwa pemerintah akan menanggung biaya pendidikan kedua anak yang ditinggalkannya apabila mereka hendak melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Tidak hanya itu saja, pemerintah juga berjanji akan memfasilitasi para keluarga apabila mereka hendak berziarah ke makam Siti Zaenab.

Siti Zaenab memang bukan sosok perempuan ternama karena dia terkenal setelah menjalani eksekusi mati di negera tempatnya mencari nafkah bagi kedua anaknya.

Namun, perjuangan yang dilakukan perempuan asal Madura ini tidak kalah berarti dari perjuangan yang dilakukan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di negeri ini.

Zaenab bisa jadi merupakan "Kartini Madura" yang gigih memperjuangkan nasib kedua anaknya untuk memperoleh kehidupan dan pendidikan yang lebih layak. Akan tetapi, garis hidup telah menetapkan takdirnya. Dia harus meninggal dengan cara dieksekusi mati.