Tawaran "Esek-esek" Lewat Dunia Maya

id Prostitusi Dunia Maya

Jakarta (ANTARA Lampung) - Tawaran layanan "esek-esek" lewat dunia maya melalui media sosial, mulai layanan pesan singkat (SMS), Facebook, Twitter, hingga Google, sesungguhnya sudah lama beredar.

Cara tersebut dianggap para pelakunya lebih aman, tersamar, dan lepas dari cengkaraman mucikari serta para tukang pukul.

Perhatian kembali tercurah pada layanan prostitusi lewat dunia maya  manakala warga Jakarta dikagetkan oleh kasus tewasnya Deudeuh Alfisahrin di indekosnya, kawasan Tebet Utara, Jakarta Selatan.

Kematian wanita itu mengungkapkan fakta adanya layanan "esek-esek" yang ditawarkan melalui media sosial sehingga sulit dikontrol oleh penegak hukum.

Ketika membuka Google, misalnya, muncul tiga gambar close-up seorang gadis cantik. Di bawah foto itu ada kotak bertuliskan membuka. Jika diklik akan muncul pesan: pengguna ini ingin berkenalan dengan Anda. Anda dievaluasi foto dan bisa melanjutkan berbicara dan seterusnya.

Dalam salah satu SMS yang mungkin dikirimkan secara acak ke sejumlah pemilik ponsel, juga tertulis pesan ajakan: "Aku hanya ingin berdua saja dengan kamu. Aku ingin ditemani. Kontak aku segera di nomor ini ...."  

Menurut pemerhati masalah sosial Maman Suherman, iklan layanan "esek-esek" lewat media sosial makin marak karena selain gratis, jangkauannya relatif lebih luas dan tidak berhubungan dengan germo. "Dahulu juga sudah ada tawaran layanan prostitusi lewat iklan baris di koran-koran tertentu, tetapi sekali muat bayarannya lumayan mahal, Rp100 ribu," katanya.

Iklan protitusi lewat dunia maya, kata dia, lebih berbahaya karena tidak ada sekat. Artinya, semua orang bisa mengaksesnya, bahkan anak-anak bisa melihatnya. Undang-Undang ITE sepertinya tidak berfungsi untuk mencegah tersebarnya iklan-iklan serupa ini.

Sementara itu, pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai kemajuan teknologi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, tetapi di sisi lain bisa disalahgunakan, misalnya oleh pelaku prostitusi untuk menjajakan dirinya secara luas melalui internet via media sosial.

Ia menyebut beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya praktik prostitusi melalui internet. Pelaku prostitusi bisa menyamarkan identitas agar bisa terhindar dari stigma sosial dan mereka tidak harus terlibat dengan agen atau mucikari sehingga mendapatkan penghasilan besar.

Alasan lain, para pelaku bisa dengan mudah menghindar dari jeratan hukum sebab sulit dilacak karena sifat anonimitasnya. "Ini yang menyebabkan internet menjadi sarana lain bagi mereka untuk mereguk untung dari bisnis 'bawah tanah' itu," katanya.

Devie tidak sepakat dengan pendapat bahwa faktor kesulitan ekonomi menjadi satu-satunya penyebab pelaku prostitusi beraksi di dunia maya meskipun awalnya pelaku terjerumus ke dunia kelam akibat keterbatasan finansial.

"Karena internet memberikan kemudahan, pelaku tidak hanya menjadi pelaku yang reguler, tetapi juga menjadi part timer. Ini hasil dari riset di berbagai negara," katanya.

Para pekerja seks komersial (PSK) kini mencari celah karena prostitusi banyak dianggap illegal dan di antara mereka banyak yang kehilangan tempat lokalisasi karena dilarang dan ditutup. Mengiklankan diri lewat internet, menjadi salah satu cara orang membuka lahan di sana.

Kriminolog Universitas Indonesia Josias Simon mengatakan bahwa saat ini relatif banyak orang memanfaatkan media sosial untuk "menjual diri" kepada para pelanggan. "Ini terjadi karena prostitusi tradisional makin tersingkir," katanya.

Ketika kawasan Dolly ditutup Pemerintah Kota Surabaya, kata dia, relatif banyak muncikari yang menjajakan "perempuan nakal" melalui "online"  (dalam jaringan/daring)atau media sosial.  "Jadi, walaupun Dolly tutup, mereka beralih secara 'online'. Itu sudah diungkap (kepolisian) di Surabaya. Kemudian, trennya reda lagi, lalu muncul lagi," katanya.

                                                          Pelanggaran Hukum?  
Apakah "menjual diri" lewat media sosial merupakan tindakan melanggar hukum? Menurut Josias, perlu pembuktian terlebih dahulu. "Untuk menjadikan masalah itu kriminal atau tidak, masih ada keraguan. Bagaimana bisa tahu kalau dia 'menjajakan' dirinya? Biasanya kalau sudah bertemu, baru tahu," katanya.

Ia berpendapat bahwa jika bisnis "esek-esek" melalui media sosial atau daring itu mulai terasa mengganggu, hal itu bisa menjadi pelanggaran hukum. "Sama dengan konten-konten radikal. Kalau efeknya mengganggu atau membuat suatu ketidaktertiban, ada pihak-pihak yang melaporkan, itu baru bisa menjadi tindak pelanggaran norma hukum, dan lainnya," katanya.

Ahli kriminologi itu juga mengingatkan perlu ada kehati-hatian dari masyarakat. Kepolisian apat menelusuri hal ini melalui cyber. Pasalnya, hal ini bisa juga menimbulkan masalah, seperti siapa yang menjadi objek yang "dijual". "Bisa jadi ini ada tindak 'trafficking', penjualan orang," katanya.

Kemudahan akses membuat pria iseng mencoba merespons iklan "esek-esek". Seorang karyawan swasta, misalnya, mengaku pernah sekali mencoba jasa tersebut. "Awalnya saya mengetahui perempuan yang 'bisa dipakai' itu melalui jejaring sosial Facebook. Terus 'chatting' dan minta nomor teleponnya. Mulanya kenalan biasa dan ngobrol-ngobrol," ujarnya pula.

Sementara itu, petualangan seorang wanita yang kini berusia 30 tahun sebagai penjaja cinta "online", berawal ketika temannya menawari bisnis ini saat dia baru tiba di Jakarta. Beban utang orang tuanya menjadi motivasi terbesarnya untuk menerima tawaran tersebut.

Lama-kelamaan, ada orang lain yang melirik akunnya di dunia maya. Dia diajak bergabung oleh perantara agar namanya bisa lebih dikenal. Dia dibuatkan akun media sosial di Facebook, Twitter, dan Omegle. Meski dia tak memahami cara kerja promosi di situs-situs itu, orang kepercayaannya itu menjamin akan selalu menyortir calon tamunya agar dia tak tertipu.

Admin akun media sosialnya ini menggunakan nomor berbeda dengan nomor yang dia gunakan untuk berkomunikasi dengan para tamunya yang sudah biasa datang dengan jalur privat via SMS. Menurut dia, nomor pribadi itu dibagikan kapada tamu yang dapat dipercaya dan sudah datang ke kamar kontrakannya lebih dari satu kali. "Akan tetapi, prinsipnya, saya tak pilih-pilih tamu," katanya.

Namun, tiga sekawan pengelola bisnis "esek-esek" di dunia maya, NA, HD, dan RW, tidak pernah mengira bisnis mereka akan terhenti begitu cepat. Baru dibuka sekira 1,5 tahun usaha yang dijalankannya di apartemen Aston, Kuningan, digerebek polisi.

"Bisnis kami hanya kecil-kecilan. Banyak yang lebih besar daripada kami," kata RW yang berperan sebagai operator di dunia maya.

Menurut RW, bisnis yang dikelola bersama kedua temannya itu bukanlah bisnis serius dengan manajemen rapi. Mereka hanya buka dari Selasa hingga Sabtu. Minggu dan Senin, libur dan waktu layanan dipatok hanya 12 jam, mulai dari pukul10.00 sampai pukul 22.00.  

Menurut si "mami" NA, karena bukan bisnis besar, penghasilan kotor mereka Rp10 juta--Rp15 juta setelah dipotong bayaran PSK. Stok PSK juga tak terlalu banyak hanya 5--6 orang saja bagi pelanggan dalam seminggu.

Kepala Satuan Reserse Mobile Polda Metro Jaya AKBP Herry Heryawan mengatakan bahwa kepolisian tidak melihat besar-kecilnya omzet bisnis tersebut karena tujuannya menangkap komplotan itu untuk mencari pelaku yang lebih besar. Kemungkinan adanya sindikat di belakang kelompok tersebut.

Dalam penggerebekan itu,  tertangkap lima PSK, di antaranya UP, perempuan berusia 22 tahun yang keluar dari pekerjaannya sebagai sales promotion girl (SPG) karena tergiur tawaran penghasilan Rp5 juta-Rp7 juta per minggu dari seorang temannya untuk menjadi PSK melalui internet.

Perempuan berambut sebahu itu kaget ketika sejumlah petugas menerobos masuk kamarnya di apartemen Aston. "Saya tak menyangka tertangkap pada hari pertama kerja," katanya.

Menurut Herry, untuk mengungkap jaringan itu, beberapa anggota Satuan Reserse Mobil menyamar sebagai pelanggan di situs "esek-esek" tersebut dan menemukan "thread" khusus "Sonia Mansion". "Lebih dari tiga bulan anggota kami memantau 'thread' di situs itu," katanya.

Pakar IT forensik Ruby Z. Alamsyah menilai prostitusi "online" sangat meresahkan masyarakat, terutama istri dan ibu rumah tangga.

Dia berpendapat bahwa keberadaan situs tersebut bisa diatasi dengan sebuah sistem. "Kalau pemerintah mau berantas jangan setengah-setengah. Tinggal lihat di Google, ketik keyword dan trafik internet, akan bisa terawasi penggunaan situs tersebut. Jika sudah ketemu, blokir. Beres," katanya.

Sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah, menurut dia, mampu jika hanya memblokir atau mencegah keberadaan jaringan prostitusi "online". "Teknisnya sudah pasti tahu, dan para ahli juga tentu bisa. Sistemnya sama dengan melacak 'money laundering'," katanya.