Lapas Pusat Peredaran Narkoba

id Lapas dan Narkoba

Jakarta (ANTARA Lampung) - Tidak sedikit pengedar yang masih beroperasi kendati sedang menjalani hukuman penjara.  Bahkan, terpidana dengan hukuman mati, gembong pengedar narkoba Freddy  Budiman tampaknya tidak gentar akan vonis tersebut.

Setelah tertangkap karena mendatangkan 1,4 juta ekstasi dan divonis mati, Freddy kini justru naik kelas menjadi produsen. Bahkan, dia bisa mengendalikan pabrik ekstasi dari dalam lapas di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang dikenal penjagaannya superketat itu.

Polisi mengendus adanya aliran dana dari gembong narkoba Freddy Budiman yang diduga untuk petugas di Lapas Batu, Nusakambangan. Karena geram, polisi pun mendorong pemerintah agar eksekusi mati Freddy dipercepat.

Menurut Kabareskrim Polri Komjen Polisi Budi Waseso, kasus peredaran narkoba jaringan Freddy melibatkan tiga lapas, yakni Lapas Batu, Salemba, dan Cipinang. Di tiga lapas itu, polisi mengindikasikan keterlibatan dua oknum sipir, yaitu satu dari Lapas Batu dan seorang lagi bertugas di Lapas Cipinang.

"Peran mereka diduga membantu Freddy dan jaringannya. Saat ini masih terus dikembangkan," katanya.

Ia menambahkan bahwa salah satu arah pengembangan pengusutan kasus itu adalah menelusuri keterlibatan petugas yang lebih tinggi di dua lapas tersebut.

Indikasi keterlibatan sipir itu makin kuat karena dalam transaksi keuangan Freddy ada transfer Rp100 juta untuk seseorang di Cilacap. Dugaan sementara, uang tersebut dipakai membeli mobil untuk salah seorang sipir. "Inilah yang menguatkan dugaan," kata Budi.

Berdasar fakta itulah, Bareskrim akan memberikan rekomendasi kepada pihak Kejaksaan Agung agar bisa mempercepat eksekusi mati Freddy. "Dengan begitu, terpidana lain bisa melihat bahwa pemerintah memang tegas dalam memerangi narkoba," katanya.

Berdasarkan hasil survei  dan investigasi Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 60 persen peredaran narkoba di Indonesia ternyata dikendalikan dari balik lapas. Sesuai dengan data BNN, setiap tahun ada pengungkapan peredaran narkotika dari balik penjara. Misalnya, pada tahun 2012, ada tujuh napi Nusakambangan yang terbukti menjadi otak peredaran narkotika 3,9 kilogram di Depok.

Pada tahun 2013, seorang terpidana berinisial FI alias JF yang mendekam di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, juga terbukti menyuruh seorang kurir berinisial BL untuk mendistribusikan sabu-sabu dan heroin di DKI Jakarta. Barang bukti yang diambil dari BL adalah 190 gram sabu-sabu dan 0,4 gram heroin.

Pada tahun 2014, terungkap pengendalian peredaran narkotika dari penjara yang lebih besar. Dua terpidana dari Lapas Pontianak bernama Jacky Chandra dan Koei Yiong alias Memey terbukti menyuruh kurir bernama Nuraini untuk menyelundupkan 5 kg sabu-sabu dari Mayalsia ke Indonesia.

Berikutnya, kata Humas BNN AKBP Slamet Pribadi, kasus Sylvester Obiekwe yang menyuruh kurir bernama Dewi yang kedapatan membawa 7.622 gram sabu-sabu. Cara pengendalian penjualan narkoba setiap pengedar hampir sama. Dengan menggunakan alat komunikasi, pengedar menghubungi setiap jaringannya, mulai kurir hingga bos narkoba. "Kami berupaya mengungkap peredaran narkotik dari hulu hingga hilir," katanya.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurtut dia, penjara juga menjadi tempat perekrutan bagi pengedar baru narkoba. Salah satu modusnya, pengedar lama menjerat para pengguna narkoba yang lagi meringkuk di tahanan. Pengedar tersebut memberikan bantuan uang kepada pengguna itu. Lalu, setelah bebas, pengguna tersebut menjadi kaki tangan pengedar yang masih berada di dalam penjara. "Ya, dijerat dengan utang begitu," katanya.

Ada juga cara lain yang baru terungkap. Pengedar yang memiliki alat komunikasi (HP) berkenalan dengan orang lain melalui media sosial. Kenalan tersebut dimintai bantuan untuk mengedarkan narkoba. "Semua ini harus dihentikan," tegasnya.

Pengedar yang masih mengendalikan peredaran narkoba itu menyebar hampir di semua penjara di Indonesia. Badan Narkotika Nasional belum bisa mengungkapkan penjara mana saja. Pasalnya, kalau penjaranya diungkap, tentu para pengedar di balik penjara lebih waspada dan bisa menghilangkan bukti-bukti yang sudah diketahui BNN.

"Yang jelas, jumlah penjara se-Indonesia sekitar 365. Dalam waktu dekat, BNN akan mengungkap semuanya satu per satu," katanya.

Ia menambahkan bahwa BNN tidak sendirian dalam mengungkap pengedar narkoba di Lapas karena relatif banyak sipir yang membantu dengan memberikan informasi. "Tentunya mereka ini yang benar-benar mengetahui kondisi di dalam penjara," katanya.

                                              Tempat Menggiurkan
Sementara itu, Kepala BNN Komjen Pol. Anang Iskandar mengatakan bahwa para pengedar juga menganggap penjara merupakan tempat bisnis narkoba yang menggiurkan sebab para pengguna sudah jelas ada di sana. "Maka, penjara itu juga disasar untuk bisnis mereka," katanya.

Terkait dengan bisnis narkoba di lapas, dia memuji salah satu kepala lapas di Jakarta yang relatif sangat protektif dan tegas. Narkoba tidak bisa beredar di lapas tersebut. Akibatnya, suatu ketika 150 napi kasus narkoba, mengalami "sakau" atau ketagihan.

Pakar hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Prof. Dr. Laode Husen Biku sependapat bahwa lapas bukan lagi untuk membina para napi agar menjadi orang yang makin baik, melainkan menjadi pusat "training" kejahatan dan sarang peredaran narkoba terbesar.

Husen membenarkan sistem pembinaan dan keamanan di lingkungan lapas sudah porak-poranda. Lapas telah berubah fungsi menjadi sarang kejahatan yang dilindungi oleh subsistem penegakan hukum. Peredaran narkoba kian marak di lingkungan lapas disebabkan karena lemahnya pengawasan aparat, bahkan ada fasilitas khusus untuk napi yang berduit.

Menurut dia, petugas lapas tahu kalau gembong narkoba sekelas Freddy mampu membayar ongkos yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, saat ini justru yang harus dibina adalah petugas lapas, dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka serta hukuman yang lebih tegas bagi oknum petugas yang terlibat.

Mantan anggota Kompolnas itu sangat setuju jika dibentuk tim gabungan yang terus-menerus melakukan razia mendadak meski itu bukanlah satu-satunya solusi. Pasalnya, yang dibutuhkan adalah sinergitas dalam pemberantasan narkoba dan itu harus menjadi prioritas utama.

Kepala Kepolisian Resor Metro Tangerang Komisaris Besar Taviv Yulianto mengaku telah menangkap sipir LP Pemuda bernama Agus Salim dengan barang bukti 10 paket sabu-sabu dan dua napi, yakni Wahyudi alias Rodek dengan barang bukti empat paket sabu-sabu, satu timbangan dan alat isap dan Nasrudin dengan barang bukti lima paket sabu-sabu dan alat isap.

Tidak hanya di LP pria, narkoba juga beredar di LP wanita, terbukti dengan 11 napi positif menggunakan narkoba dari hasil razia yang dilakukan Direktorat Narkoba Bareskrim Mabes Polri.

Dani Ramdani dan Arif Rahman diamankan petugas pengamanan Lapas Kelas II Tasikmalaya dan langsung diserahkan ke polisi satuan narkoba. Hasil tes urine menyatakan keduanya positif narkoba. Jika dua minggu lalu, dua paket sabu-sabu dalam rokok diamankan petugas, kali ini petugas menemukan narkoba dalam remote televisi.

Narkoba memang masih merajalela dalam lapas. Polisi akhirnya bisa membawa dua kaki tangan terpidana mati bandar besar narkoba, Freddy Budiman, yakni Lim dan Asiong dari Rutan Salemba, Jakarta. Keduanya berperan penting dalam penjualan narkoba yang diproduksi Freddy di kawasan Jakarta Barat.

Terkait dengan oknum sipir yang terlibat dalam jaringan peredaran narkoba Freddy Budiman, menurut Menkumham Yasonna Laoly, akan mendapat sanksi tegas. Kementerian Hukum dan HAM akan berkoordinasi dengan BNN untuk melengkapi informasi tersebut.

"Pokoknya, sipir yang melanggar aturan kepegawaian harus dipecat dan dipidana," kata  Yasonna.

Semua sipir lapas, kata dia, telah diingatkan agar tidak membantu masuknya barang terlarang ke lingkungan lembaga pemasyarakatan. Sanksi bagi pelanggar adalah rotasi sampai dengan pemecatan dan dipidana.