Ketika Tiongkok Diprediksi Bakal Kuasai Perekonomian Dunia

id Tiongkok Kuasai Ekonomi Dunia

Jakarta (ANTARA Lampung) -  "...the head of an established and leading Western telephone boasted about all things company could do. He went on for quote a long time, as he demonstrated the company's range, and depth, and brilliance. His speech was met with enthusiastic applause. Then came the turn of the head of a similar Chinese company, he said: 'We can do everything he can... for 40 percent less.' He promptly sat down."
(...Kepala perusahaan telepon Barat yang terkemuka membanggakan apa saja yang bisa dilakukan perusahaannya. Dia berbicara cukup lama, sembari menunjukkan kemampuan, kedalaman, dan kecanggihan perusahaannya. Pidatonya disambut dengan tepuk tangan membahana. Kemudian datang giliran kepala perusahaan serupa dari Tiongkok yang berkata: 'Kami dapat melakukan apapun yang dia bisa... untuk 40 persen lebih murah.' Dia segera duduk."

Kisah anekdot itu dapat ditemukan dalam buku karya ekonom Zambia, Dambisa Moyo, dalam bukunya, "How The West was Lost" (Bagaimana Barat bisa kalah) yang terbit 2011.

Dalam buku tersebut diulas sejumlah keunggulan yang dilaksanakan Tiongkok sehingga percepatan pertumbuhan perekonomiannya dapat mengungguli negara-negara maju di kawasan Barat.

Salah satu teori yang diusulkan Moyo adalah karena Tiongkok menerapkan pendekatan volume komoditas dan bukan dengan mencari laba/keuntungan. Dengan konsep itu, Tiongkok berfokus pada manufaktur dengan memproduksi secara besar-besaran berbagai barang apapun dengan harga yang lebih murah dengan kompetitornya dari negara-negara Barat.

Hal tersebut, menurut lulusan master dari Harvard dan doktoral ekonomi dari Oxford itu, juga disebabkan banyak warga Tiongkok   didorong untuk menimba ilmu dan bekerja di bidang teknik. Pada 2008, Tiongkok memiliki 3,7 juta mahasiswa teknik, sedangkan di Amerika Serikat hanya sekitar 65.000 mahasiswa orang per tahun mendekati abad ke-21.

Selain itu, Tiongkok juga terus mengeluarkan kebijakan yang membuat renminbi (mata uang Tiongkok, atau dikenal juga dengan yuan) menjadi lebih internasional dan semakin sering dipakai oleh berbagai negara di dunia.

Contohnya, Tiongkok pada 2009 meminjamkan dana setara sekitar 50 miliar dolar AS (tetapi pinjaman itu dilakukan dalam bentuk mata uang lokal Tiongkok, renminbi).

Pada tahun yang sama juga, Tiongkok menandatangani perjanjian "bilateral currency swap" dengan total 650 miliar dolar AS dengan enam bank sentral yang ada di Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia, Belarusia, Argentina, dan juga Indonesia.

Dengan nada menyindir, Moyo juga mengatakan "No more a world where the greenback is the world's favourite currency, instead it would be the redback." Istilah "greenback" mengacu pada mata uang dolar AS, sedangkan "redback" mengacu pada renminbi.

Media Wall Street Journal pada edisi 16 Maret 2015 menulis artikel berjudul "Beijing Plans More Action For Growth".

Dalam artikel tersebut terdapat bagian yang menyebutkan bahwa ketika ekspor, investasi, dan infrastruktur mulai menjadi kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemimpin Tiongkok berupaya mendorong inovasi dan kewirausahawan dari warganya.

Tujuan itu dilakukan antara lain dengan mempersingkat dan memotong jumlah perizinan yang dibutuhkan dari pemerintah untuk membuat badan usaha atau perusahaan baru di negara Tirai Bambu tersebut.

                                          Dunia Dekati Tiongkok
Pesatnya pertumbuhan yang dicapai Tiongkok juga membuat dunia mendekati negara tersebut, seperti yang ditunjukkan antara lain oleh lembaga keuangan multilateral regional Bank Pembangunan Asia (ADB).

"Saya berkomitmen untuk terus bekerja sama lebih erat lagi dengan Republik Rakyat Tiongkok untuk mengatasi tantangan pembangunan," kata Presiden ADB Takehiko Nakao saat menghadiri undangan Komisi Reformasi dan Ekonomi Nasional Tiongkok, medio Maret 2015.

Pada saat yang bersamaan, menurut Nakao, pihaknya juga menyambut keinginan pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok untuk memperdalam kemitraan dengan lembaga yang dipimpinnya. Sejak 1986, ADB juga telah mengucurkan hingga sebesar 29,4 miliar dolar AS dalam bentuk pinjaman kepada Tiongkok.

Sebelumnya, Prancis, Jerman dan Italia pada Selasa (17/3), mengumumkan rencana untuk bergabung dengan bank pembangunan AIIB yang dipimpin Tiongkok, menarik kekhawatiran Washington yang memandang lembaga itu dengan skeptis. Tiga negara Eropa itu ingin "menjadi anggota pendiri dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB)", dalam pernyataan bersama yang dikutip kantor berita AFP.

AIIB dengan modal awal 50 miliar dolar AS (47 miliar euro) telah diinisiasi oleh Beijing sebagai cara pembiayaan pembangunan regional, tetapi dipandang sebagai saingan potensial untuk lembaga-lembaga yang berbasis di AS seperti Bank Dunia.

Washington, Tokyo dan Seoul telah menolak untuk menjadi anggota pendiri -- tetapi dalam waktu sepekan, empat ekonomi terbesar Eropa telah mengisyaratkan rencana untuk bergabung.

Pemerintah Inggris telah mengumumkan ambisinya untuk menjadi negara Barat pertama yang bergabung dengan bank tersebut, dalam sebuah langkah untuk memperkuat hubungannya dengan Tiongkok.

Tiongkok juga pemegang asing terbesar surat utang negara AS, dengan kepemilikan sebesar 1,2391 triliun dolar AS pada Januari 2015.

Presiden RI Joko Widodo dalam lawatannya ke Jepang dan Tiongkok menawarkan peluang investasi untuk membangun 24 pelabuhan yang menjadi pilar proyek infrastruktur tol laut, kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago.

"Kami ingin mempercepat penerapan poros maritim," kata Andrinof di Jakarta, Senin (23/3).

Andrinof tidak menampik keberangkatan Jokowi ke Tiongkok juga karena misi serupa negara Tirai Bambu itu, yang ingin membangun Jalur Sutera, sebuah jalur konektivitas tata niaga dari berbagai wilayah di Asia ke Eropa dan Afrika.

Di Beijing, Presiden Joko Widodo memaparkan rencana kerjanya selama lima tahun ke depan di hadapan ratusan pelaku usaha di Tiongkok dalam Forum Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Tiongkok."Ini perencanaan kami untuk lima tahun ke depan, tahun ini pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,7 persen, tahun depan naik, target kita di atas tujuh persen pada 2017," kata Presiden Jokowi di Great Hall of The People Beijing, Jumat (27/3).

Ia juga menjelaskan soal realisasi investasi di Indonesia yang terus meningkat yang diharapkan dengan kerja sama yang makin erat dengan Tiongkok akan melipatgandakan jumlah investasi yang ada.

Tiongkok, selain memainkan peran vital dalam perdagangan internasional, juga telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara, antara lain dengan Australia, Korea Selatan, Swiss, Pakistan, dan juga ASEAN.

                                          Sejarah Ekonomi Tiongkok
Menurut ensiklopedia dunia maya Wikipedia, program reformasi ekonomi dengan mengenalkan prinsip pasar dimulai pada akhir 1970-an, dengan mencakup dekolektivisasi pertanian, dan pembukaan negara tersebut kepada investasi luar negeri.

Meski demikian, sebagian besar dari perusahaan sektor perindustrian di Tiongkok masih dikuasai oleh pihak negara.

Dengan dipimpin Deng Xiaoping, reformasi pertama menyentuh sektor pertanian yang dinilai telah lama ditinggalkan oleh Partai Komunis Tiongkok.

Reformasi dengan dekolektivisasi dengan menekankan pada sistem tanggung jawab-rumah tangga itu membuat petani dapat mempertahankan lahannya dengan memberikan pembagian keuntungan kepada negara.

Dengan juga menciptakan serangkaian kawasan ekonomi khusus bagi investasi luar negeri yang relatif terbebas dari kekakuan regulasi dan intervensi birokrasi yang menghambat pertumbuhan perekonomian.

Pada akhir 1980-an hingga dekade berikutnya yaitu 1990-an, pemerintah Tiongkok kembali memperbaharui reformasi ekonominya dengan mencakup sejumlah privatisasi dan mengangkat beberapa kebijakan proteksionis, meski monopoli negara di sejumlah sektor seperti perbankan dan perminyakan masih ada.

Langkah tersebut membuat sektor swasta tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga sekitar 9,5 persen per tahun dalam periode 1978 hingga 2013.

Walhasil, ekonomi Tiongkok melewati Jepang pada 2010 dan membuat Tiongkok menjadi negara ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

Bila kondisi yang ada relatif masih seperti sekarang ini, maka diperkirakan Tiongkok akan melewati AS dan menjadi negara ekonomi terbesar pada 2025.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga tidak lepas dari kritik karena masih tingginya ketimpangan pendapatan antarwarga, serta persoalan industri yang mengakibatkan munculnya masalah kesehatan publik dan polusi lingkungan.

Namun demikian, tidak ada yang bisa menutup mata bahwa tidak tertutup kemungkinan negara Tiongkok yang beberapa dekade tersebut masih belum diperhitungkan, bakal menguasai perekonomian dunia pada masa mendatang.