UN yang Merangkul Perbedaan

id UN Bukan Tentukan Kelulusan

Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Dunia pendidikan di Tanah Air memasuki babak baru yang mencerahkan setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan sistem ujian nasional yang merangkul perbedaan kualifikasi sekolah-sekolah.

Inilah momentum untuk memasuki babak baru ujian nasional dalam jenjang pendidikan menengah  dengan menerapkan sistem yang tak lagi bersifat penyeragaman dan sekaligus mengaplikasikan kemajuan teknologi informasi.

Mulai tahun ini, ujian nasional untuk sekolah-sekolah tertentu mengalami perubahan mendasar. Siswa di sekolah yang dianggap maju, tak lagi menjawab soal-soal ujian nasional di atas kertas tapi dengan pemanfaatan komputer. Ujian berbasis komputer ini pun masih dipilah lagi, sebagian diselenggarakan dengan  menggunakan jejaring internet, sebagian masih sebatas di luar jejaring internet.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa  dunia pendidikan mengalami sebuah kemajuan yang cukup signifikan karena pemerintah sudah berikhtiar untuk memasukkan unsur pembaruan teknologi dalam penyelenggaraan ujian nasional.

Para pengamat pendidikan dan kritikus yang selama ini melancarkan kritik pedas atas pelaksanaan ujian nasional yang sentralistik pantas memberikan apresiasi pada pemerintah yang tak lagi melakukan penyeragaman dalam praksis pendidikan di Tanah Air. Sebelumnya, kebijakan pendidikan terasa sangat sentralistis dan watak penyeragaman sangat terasa. Kini pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan secara proporsional, kontekstual dan sesuai dengan kemajuan setiap daerah.

Bagi sekolah yang dianggap memiliki kemampuan, ujian nasional berbasis internet dilaksanakan sementara sekolah yang belum memiliki kemampuan setara, masih ditoleransi untuk melaksanakan ujian tertulis di atas kertas. Ini terjadi di sekolah-sekolah di daerah terpencil dan pedalaman.

Paradigma baru dalam pelaksanaan ujian nasional tahun ini juga ditandai dengan aturan bahwa ujian bukan parameter menentukan kelulusan siswa.

Pilihan kebijakan ini sangat positif dalam arti bahwa siswa belajar bukan sekadar untuk mendapat nilai atau selembar ijazah. Pemamahan, perubahan sikap mental siswa dalam memaknai belajar diharapkan semakin meningkat. Dengan demikian, proses belajar di sekolah harus dipahami sebagai ikhtiar siswa untuk mendapatkan bekal dalam hidup di masa depan. Bekal semacam itu bukan sekadar kemampuan kognitif tapi juga kedalaman kemampuan berempati dan ulet dalam mengatasi tantangan sehari-hari.

Menumbuhkan pribadi-pribadi  yang cerdas, berbudi dan kompetitif dalam menyongsong hari depan diharapkan akan semakin jadi patokan dunia pendidikan dalam menjalankan misi utamanya.

Paradigma baru dalam praksis pendidikan ini sejajar dengan fakta bahwa dalam kehidupan nyata, dalam persaingan yang kian keras, pengetahuan kognitif yang diperoleh dibangku sekolah tak cukup untuk membekali seseorang dalam meniti karier. Ada banyak kemampuan manusia yang tak bisa diraih lewat ujian nasional. Pengalaman berintaksi dengan berbagai kelompok orang yang berbeda, ulet dalam mengatasi tantangan dan kesanggupan mengakui kelemahan sendiri hanya bisa diperoleh lewat pergumulan hidup, bukan lewat membaca teks semata.

Rintisan ujian nasional berbasis komputer ini diharapkan mengubah kebijakan yang lebih luas dalam penyediaan fasilitas sekolah di masa mendatang. Efisiensi yang dicapai karena pemerintah tak lagi mencetak soal-soal ujian dan penghematan biaya distribusi soal ujian  bisa dijadikan jembatan untuk mengalokasikan dana yang tak lagi terpakai untuk mengadaan komputer sekolah.

Dengan mengawali proses pembelajaran di sekolah melalui komputer, secara perlahan siswa dibiasakan untuk memasuki budaya nirkertas, yang menjadi kecenderungan global dalam beberapa dekade belakangan ini, khusunya di negara-negara maju.

Tampaknya pembaruan dalam penyelenggaraan ujian nasional berbasis komputer ini punya dampak yang multidimensional. Anak-anak pun, terutama mereka yang tinggal di desa, atau wilayah pedalaman, didorong semakin melek teknologi informasi.

Kenyataan ini akan menambah maraknya fenomena menarik yang terjadi dalam lapangan kerja kreatif di seluruh bumi Nusantara. Seperti pernah ditayangkan Metrotv beberapa waktu lalu. Dalam tayangan itu, sekelompok anak-anak muda di sebuah pedesaan di Jawa Tengah menapaki profesi sampingan sebagai disainer grafis setelah mereka menyelesaikan pekerjaan utama mereka sebagai petani, pencari rumput untuk ternak dan perajin mebel.

Dalam program siaran yang bertajuk Disainer Kampung itu, di desa itu  ada seorang yang berprofesi sebagai disainer grafis, lalu dia membagikan kemahirannya pada teman-teman sekampungnya. Akhirnya terbentuklah komunitas pendisain grafis yang karya-karya mereka diharga dalam bentuk dolar.

Jika pemerintah segera memperkenalkan komputer untuk siswa di wilayah pedalaman, percepatan pembangunan sumber daya manusia yang melek komputer atau teknologi informasi akan segera terwujud. Tentu saja semua upaya itu harus didahului dengan pembangunan instalasi listrik, entah dengan masuknya Perusahaan Listrik Negara atau dengan generator sederhana yang sudah banyak dibuat oleh masyarakat pedesaan, terutama yang wilayahnya dilintasi sungai dengan aliran air yang lumayan deras.

Dan salah satu tugas terpenting Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pencerdasan dan pemberdayaan mereka yang berada di wilayah pedalaman, tertular yang paling sedikit tersentuh kemajuan teknologi.

Untuk tahun ini, sekolah-sekolah di wilayah-wilayah terpencil masih melaksanakan ujian nasional berbasis kertas. Kemdikbud perlu memproyeksikan bahwa dalam waktu kurang dari lima tahun, sebelum Presiden Jokowi mengakhiri termin pertama kukuasaan politiknya, semua sekolah di Nusantara sudah menyelenggarakan ujian berbasis komputer.

Allahu a'lam.