Cerita Sanitasi di Tepi Sungai Musi

id Sanitasi di Tepi Sungai Musi

Palembang (ANTARA Lampung) - Waktu menunjukkan hampir pukul 06.00 WIB. Matahari mulai menyapa melalui cahayanya yang kemilau di sela-sela rumah yang berdiri tak tertata di bantaran Sungai Musi, Palembang.

Sekelompok warga mulai beraktivitas di pagi hari itu, mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga orang tua. Mereka mengantre di sebuah fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum yang berdiri di atas lahan seluas 7 x 12 meter, persis bersebelahan dengan gedung sekolah dasar (SD) milik pemerintah.

Tanpa harus dikomandoi, puluhan warga RT 5, Kelurahan 5 Ulu ini berbaris dengan tertibnya menunggu giliran untuk memanfaatkan MCK yang hanya terdiri atas empat kakus dan tiga kamar mandi.

Lantaran makin banyak orang yang datang membuat barisan warga bertambah panjang sehingga memaksa sebagian pengantre menunggu di tepi jalan yang hanya berdiameter 1 meter.

Beruntung, pagi itu belum ada kendaraan roda dua yang berlalu lalang di kampung yang warganya sebagian besar berprofesi sebagai buruh, pengolah ikan, hingga awak kapal ini.

Ketua RT 05 Muhammad Masyur mengatakan bahwa hampir 80 persen warganya yang terdiri atas 160 kepala keluarga (600 jiwa) memanfaatkan MCK tersebut sejak didirikan pemerintah pada tahun 2011.

Keberadaan MCK ini demikian dimanfaatkan warga, baik di saat musim hujan maupun musim kemarau.

"Kini, semua warga ke sini. Hanya sekitar 20 persen yang masih MCK di rumah sendiri, bisa jadi karena sudah memiliki WC dengan 'septic tank' sendiri atau masih mempertahankan budaya lama (WC cemplung, red.)," kata Mansyur.

Ia mengemukakan bahwa pengelolaan MCK ini secara swadaya, yakni dengan memungut biaya sebesar Rp10 ribu bagi keluarga yang memanfaatkan untuk mencuci pakaian. Sementara itu, bagi mereka yang hanya menggunakan kakus, warga bersepakat tidak dikenai biaya sama sekali.

Terkait dengan ketersediaan air, dia mengemukakan bahwa hal itu tidak mendapatkan masalah karena mengambil langsung dari Sungai Musi dengan membuat jalur pipa sepanjang 100 meter.

Air yang disedot dengan mesin itu akan disimpan di dalam tabung penyimpanan selama kurang lebih satu minggu agar ketika digunakan sudah bersih.

"Kotoran akan turun dengan sendirinya, airnya pun bersih dan bening. Caranya, bagian tengah dinding tedmon (drum plastik, red.) dilubangi untuk mengalirkan air, bukan bagian bawahnya," ujar dia.

Menurut dia, tidaklah mudah untuk mengadakan fasilitas MCK ini di kawasan kumuh bantaran Sungai Musi ini. Ketidaktersediaan lahan menjadi kendala utama.

"Saya mengajukan ke pemerintah menunggu hingga empat tahun sebelum akhirnya disetujui. Hal ini pun bisa karena ada sisa tanah halaman SD. Jika mengharapkan tanah warga, mau di mana lagi, antarrumah saja sudah tidak ada jarak," ujar dia.

Namun, berkat desakan warga yang mulai sadar akan kebersihan lingkungan membuat pemerintah merealisasikan MCK ini.

"Cukuplah dengan banyaknya sampah, jangan pula dibarengi dengan bau tidak sedap. Terus terang saja, saya malu jika ada tamu yang berkunjung," ujar Ketua RT ini.

Shaibah (65), warga RT 5 mengharapkan pemerintah menambah fasilitas MCK di lingkungan tempat tinggalnya karena yang tersedia saat ini terbilang tidak mencukupi kebutuhan warga.

"Setidaknya ada satu lagi fasilitas MCK karena pada saat jam sibuk, ramai sekali, antrenya ramai sekali," kata Shaibah.

Ia mengatakan bahwa warga bantaran sungai pada prinsipnya sangat menginginkan lingkungan yang hidup sehat dan bersih, hanya saja keterbatasan biaya membuat mereka masih menggunakan jamban. "Kami membutuhkan bantuan pemerintah karena biaya untuk membuat septic tank sendiri itu tidak murah," kata dia.

                                            Sanitasi Rendah
Kesadaran warga tepi sungai terhadap sanitasi lingkungan tempat tinggalnya bisa dikatakan sangat rendah, seperti tidak memiliki fasilitas MCK hingga tidak peduli terhadap penanganan sampah rumah tangga.

Bagi warga bantaran, membuang sampah ke sungai adalah sesuatu kelaziman yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Mereka beranggapan sampah yang dibuang bukanlah suatu persoalan besar karena pada akhirnya kotoran tersebut akan tersapu ke sungai ketika air pasang.

Supriyadi (45), warga Jalan Kenduruan, Kelurahan 5 Ulu mengatakan bahwa pada musim kemarau biasanya sampah berserakan di mana-mana disertai dengan bau yang tidak sedap. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada musim berganti maka sampah-sampah tersebut akan tersapu air sehingga kondisi lingkungan bantaran sungai kembali terlihat bersih.

"Tidak masalah, nanti juga bersih sendiri," kata Supriyadi yang berprofesi sebagai pengepul ikan ini.

Saat air pasang, warga pinggiran sungai menggunakan air sungai untuk beragam keperluan, seperti mandi, mencuci pakaian, mencuci sayuran, mencuci beras, mencuci ikan, hingga menyikat gigi.

Adapula beberapa rumah yang kembali memanfaatkan WC cemplung ketika air pasang itu. "Dahulu sewaktu saya kecil, air Sungai Musi ini dimasak jadi air minum. Akan tetapi, sekarang sudah banyak warga yang membeli air galon (air PDAM) karena menyadari kualitasnya sudah menurun," kata dia.

                                               Butuh Perhatian Pemerintah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan bahwa penanganan sanitasi warga bantaran Sungai Musi harus menjadi perhatian khusus Pemerintah.

Menurut dia, langkah strategis harus diambil mengingat kualitas air Sungai Musi semakin menurun setiap tahun karena tingginya pencemaran tanah dan air akibat aktivitas penduduk hingga industri yang tergolong masif.

Pada sisi lain, dia mengatakan bahwa penduduk sangat bergantung pada air Sungai Musi karena menjadi satu-satunya air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi .

"Pemerintah Kota Palembang harus memiliki program-program strategis untuk menekan tingkat pencemaran di Sungai Musi, salah satunya aktif mendekatkan warga dengan program sanitasi," kata dia.

Konsentrasi program sanitasi ini sebaiknya tidak hanya terkonsentrasi di permukiman bantaran sungai, tetapi juga permukiman padat penduduk lainnya yang tingkat pencemaran tanahnya sudah relatif tinggi.

"Agar beragam program sanitasi dapat berjalan berkesinambungan, pemerintah harus melibatkan warga, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Misalnya, membangun instalasi pengolahan air limbah sebaiknya melibatkan warga, jangan sampai setelah dibangun, ada keluhan warga karena letaknya yang menggangu," ujar dia.

                                                     Bantuan Australia
Persoalan sanitasi warga tepi sungai dengan pemukiman padat penduduk atau kumuh, sebenarnya relatif tidak berbeda jauh karena limbah rumah tangga yang dihasilkan juga mencemari tanah dan air.

Umumnya, pencemaran tanah terjadi akibat setiap rumah membangun "septic tank" sendiri-sendiri, sementara pada sisi lain keberadaan sumur hanya dalam radius beberapa meter.

Kenyataan ini mengugah pemerintah Australia untuk menyalurkan dana hibah sanitasinya ke warga Kota Palembang dalam program pembangunan instalasi pengolahan air limbah (ipal), baik secara kawasan maupun perkotaan.

Program Officer Water dan Sanitation Batuan Pemerintah Australia Nur Fadrina Mourbas di Palembang, Rabu (11/2), mengatakan bahwa Kota Palembang terpilih karena 96,07 persen warganya telah mengakses air bersih.

Selain itu, Pemerintah Kota Palembang juga memiliki komitmen tinggi dalam meningkatkan sanitasi warganya terkait dengan penanganan drainase, limbah, dan sampah, dengan menganggarkan dana APBD sebesar Rp150.564.006.855,00 atau mencapai 10,43 persen dari belanja langsung APBD 2015.

"Setiap tahun dana yang dialokasikan selalu bertambah. Hal ini yang membuat kami percaya bahwa persoalan sanitasi menjadi perhatian di Palembang. Tidak semua daerah di Indonesia seperti Palembang sehingga dana hibah ini yang diserap beberapa kota saja," ujar Nur Fadrina usai sosialisasi mengenai program dengan sejumlah wartawan media massa Kota Palembang.

Khusus program yang berkenaan dengan bantuan pemerintah Australia, pemerintah kota telah mengalokasikan dana Rp11 miliar pada tahun 2015 untuk pembangunan ipal.

Wujud nyata lainnya bukti keseriusan Pemerintah Kota Palembang yakni menerbitkan surat wali kota tentang minat dan kesanggupan untuk menyiapkan alokasi dana, penandatanganan surat persetujuan perpanjangan hibah, penyiapan lahan pembangunan ipal komunal dan perkotaan.

Kemudian, membuat masterplan dan Detail Engineering Design City Sewerage skala kota dan komunal, membuat unit pelaksana teknis daerah pengelolaan limbah, hingga mempersiapkan sumber daya manusia terkait dengan tim teknis dan kelompok kerja sanitasi.

"Tidak semua kota mau berkomitmen seperti kota Palembang, mulai dari pembebasan lahan hingga membuat desain instalasinya. Yang patut diacungi jempol, pemerintah kota mau mengeluarkan dana terlebih dahulu untuk beragam kebutuhan sebelum akhirnya diganti oleh pemerintah Australia," kata dia.

Terkait dengan pengantian dana pembangunan infrastruktur ini, menurut dia, pemerintah Australia telah menyiapkan dana untuk sambungan instalasi pengolahan air limbah di 2.000 titik rumah warga dengan nilai Rp4 juta per sambungan atau total Rp8 miliar.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palembang Syafri Nungcik mengatakan bahwa program yang telah direncanakan sejak 2010 tidak berapa lama lagi akan terealisasi karena lima titik yang dijadikan target pembangunan ipal kawasan telah ditentukan.

Kelima titik itu, yakni di Kecamatan Kalidoni, Kecamatan Sako, Kecamatan Sematang Borang, Kecamatan Sukarami, dan Kecamatan Gandus.

"Targetnya ada di 10 kawasan, tapi untuk tahap awal ini di lima kawasan terlebih dahulu dengan 1.000 sambungan ke rumah warga, diperkirakan dana yang terserap sekitar Rp4 miliar, nanti yang sisanya akan dikejar berikutnya," kata Syafri.

Selain menyiapkan instalasi pengolahan limbah untuk kawasan, pemerintah kota juga akan menyerap dana hibah Australia untuk instalasi pengolahan limbah perkotaan.

Pemerintah kota telah menyiapkan lahan seluas 5,7 hektare di Kelurahan Sungai Selayur, Kecamatan Kalidoni yang sudah dibebaskan dari kepemilikan warga sejak 2012.

"Lingkungan hidup sehat tentunya memerlukan sarana sanitasi yang baik, inilah yang menjadi cita-cita Pemerintah Kota Palembang. Selama ini warga membuat septic tank sendiri-sendiri sehingga mengotori air tanah. Jika air limbah warga ini dikelola secara terpusat, potensi kerusakan lingkungan dapat ditekan," ujar dia.

Pemerintah Australia bekerja sama dengan pemerintah daerah di Indonesia membangun infrastruktur sanitasi demi penyelamatan lingkungan dengan mengucurkan dana hibah sekitar 200 juta dolar Australia.

Realisasi program ini terbagi tiga, program hibah berupa sambungan sanitasi ke rumah, program sarana pengolahan limbah terpusat skala kawasan, dan pembangunan sarana pengolahan limbah skala perkotaan (city sewerage).

Program sanitasi ini juga mendukung komitmen Indonesia dalam pembangunan milenium (millenium development goals) yang menyepakati 68,87 persen penduduk Indonesia mengakses air minum yang layak dan 62,42 persen penduduk Indonesia mendapatkan akses sanitasi yang layak pada tahun 2015.