Hukum dan Etika Pelantikan Calon Kapolri

id Kontroversi Pelantikan Kapolri

Jakarta (ANTARA Lampung) - Awal tahun 2015 menjadi momentum yang serba sulit bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) akibat benturan isu etika dan hukum dalam kasus pelantikan calon Kapolri Budi Gunawan (BG).

Pelantikan BG menjadi persoalan serius lantaran ia menyandang kasus tersangka, sementara di sisi lain pencalonannya telah direstui DPR.

Kisruh pencalonan BG sebagai Kapolri kemudian menyita perhatian publik sekaligus menjadi batu ujian bagi Presiden Jokowi untuk bisa memilih sikap paling arif.

Presiden pun akan teruji saat keputusannya ditentukan, rakyat kemudian akan menilai sejauh mana Jokowi mampu bersikap mengatasi persoalan yang kompleks tersebut.

Namun sikap Jokowi yang terkesan menunggu bahkan mengulur waktu untuk menuntaskan kasus itu tampak merupakan upaya mencari momentum yang tepat.

Wakil Ketua Tim Independen Jimly Asshiddiqie mengatakan persoalan pencalonan Kapolri saat ini menjadi masalah karena benturan hukum dan etika.

Jimly Asshiddiqie mengatakan Budi Gunawan sebaiknya tidak usah dilantik demi mempertimbangkan etika hubungan antara negara dengan rakyat.

"Ketika dilantik lalu diberhentikan tidak ada dasarnya, sementara kalau dia tersangka tidak bisa diberhentikan, secara etika itu melanggar. Mending sebelum dilantik dia tidak jadi dilantik, tidak ada hukum yang dilanggar hanya yang dilanggar etika hubungan presiden dengan DPR," kata Jimly.

Ia mengatakan, saat ini masalah pencalonan Kapolri terkait Budi Gunawan (BG) diperdebatkan karena menyangkut masalah hukum dan etika yang dibenturkan.

Hingga kemudian berkembang pertanyaan apakah Presiden Jokowi harus melantik dahulu untuk menghormati hukum?

"Atau sebagian orang berpendapat proses hukum di DPR harus dihormati maka harus dilantik dulu. Tapi keharusan melantik dulu itu tidak ada aturannya," katanya.

Jadi, kata dia, yang terjadi saat ini sama-sama karena persoalan etika.

"Jadi masa' DPR sudah memutuskan kok tiba-tiba Presiden mengajukan calon baru. Ini kan soal etika hubungan antara Presiden dan DPR," katanya.

Sementara soal kedua yakni seseorang yang berstatus tersangka kemudian dilantik, hal itu juga terkait dengan etika dalam hal ini etika hubungan antara negara dan rakyat.

Di satu sisi etika antara Presiden dan DPR sementara di sisi lain etika antara negara dan rakyat.

"Mana yang lebih penting, jadi dua-duanya sama-sama tidak melanggar hukum, tidak melantik tidak melanggar hukum. Memberhentikan karena status tersangka, juga apa dasar hukumnya. Kecuali memberhentikan sementara, ini justru menunda masalah," katanya.

                                                  Jokowi Benar
Jimly sendiri mendukung pilihan sikap Presiden Jokowi untuk menunggu momentum yang tepat dalam memutuskan calon Kapolri.

Menurut dia, persoalan itu tergolong rumit sehingga harus menunggu keputusan praperadilan agar momentumnya tepat.

"Karena ini kan sudah telat, kalau makin lama makin banyak masalah-masalah baru. Sudah telanjur telat, momentumnya ya praperadilan itu sambil kita menunjukkan sikap hormat pada proses hukum. Saya kira tepat pilihan Presiden, kita tunggu saja," katanya.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan persoalan itu berawal dari abainya Presiden untuk mempersiapkan langkah yang tepat pasca-memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri.

Presiden kemudian menunjuk Wakapolri Badrotin Haiti untuk melaksanakan tugas-tugas Kapolri tanpa meminta pertimbangan dari DPR.

Namun, banyak pihak menilai pemberhentian Sutarman merupakan murni hak prerogatif Presiden.

Presiden Jokowi sendiri dalam berbagai kesempatan khususnya tiga pekan terakhir selalu berjanji akan menuntaskan kasus itu secepatnya bahkan pekan ini telah memasuki "injury time" sebagaimana janjinya sebelum kunjungan kerja ke luar negeri pekan lalu.

Menanggapi hal itu, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan lambannya Presiden Jokowi menentukan sikap atas kasus BG memperpanjang perseteruan KPK-Polri.

Bahkan, menurut dia, mengangkat seorang tersangka sebagai pucuk pimpinan institusi Polri bakal menciderai penegakan hukum.

"Tuntutan kami presiden perlu mengganti BG dengan yang lebih baik dan juga bersih," ujarnya.

                                                 Pemberantasan Korupsi
Hingga kini, Presiden Jokowi mengaku belum berkomunikasi langsung dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk menerima usulan nama-nama baru calon Kapolri pengganti BG.

Presiden sempat menyebut Kompolnas sudah mengajukan enam nama calon Kapolri untuk menggantikan pencalonan Budi Gunawan.

"Kalau yang dari Kompolnas ada, enam," kata Jokowi setelah membuka Munas II Partai Hanura di Solo.

Namun ia mengaku belum menerima secara resmi pengajuan keenam nama itu dari Kompolnas.

Jokowi bahkan mengaku hanya baru mengetahui jumlah nama calon Kapolri yang akan diajukan oleh Kompolnas melalui media.

"Itu belum sampai ke saya. Saya hanya baca di koran," katanya.

Apa pun bentuknya, kisruh pencalonan Kapolri yang merembet hingga tersulutnya kisruh KPK-Polri mengancam agenda penegakan hukum, di tengah masyarakat.

Akibatnya, agenda pemberantasan korupsi menjadi stagnan karena energi dan perhatian tercurah pada kasus yang berlarut itu.

Momentum tepat yang dinantikan Jokowi pun diharapkan segera hadir agar benang kusut persoalan itu terurai hingga ke titik simpulnya.

Rakyat pun menanti janji pemberantasan korupsi yang didengungkan sejak lama.