Berkah Pendidikan Setelah Perubahan Fungsi UN

id Perubahan UJian Nasional

Jakarta (ANTARA Lampung) - Ada berkah dalam dunia pendidikan di Tanah Air dengan keputusan yang diambil Anies Baswedan, yang dipilih Presiden Joko Widodo menduduki kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Berkah itu sedikitnya bisa dilihat pada perubahan visioner dalam memaknai ujian nasional (UN). Anies Baswedan melakukan desakralisasi UN dengan keputusannya bahwa UN tak lagi menjadi syarat kelulusan bagi peserta didik.

Keputusan ini tentu membuat banyak pemangku kepentingan, terutama siswa dan orang tua, tidak lagi dihantui oleh kecemasan gagal dalam menjalani UN. Selama ini, UN adalah momok karena bagi kebanyakan siswa, soal-soal itu terlalu sulit untuk dikerjakan dengan usaha normal. Maka, banyak cara tak jujur yang ditempuh siswa untuk mengatasi kesulitan menjawab soal-soal UN itu.

Akibat semua itu, maraklah jual-beli soal-soal UN. Berbagai penipuan pun berlangsung. Calo-calo yang memperdagangkan soal-soal ujian nasional bergentayangan. Pemerintah pun punya tugas tambahan, dengan mengerahkan personel kepolisian dan tentara untuk mengawal perjalanan soal-soal UN tersebut. Meski demikian, akal maling lebih lihai. Seberapa banyak polisi dan tentara dilibatkan, soal-soal UN tetap bocor. Masalahnya bukan terletak pada ketidakbecusan petugas keamanan, tapi luasnya rentang dan kompleksnya perjalanan soal-soal UN yang harus dikawal.

Dengan perubahan, atau lebih tepatnya berkurangnya fungsi UN, pemerintah tak perlu lagi melibatkan pihak keamanan. Tenaga petugas keamanan bisa dialihkan untuk mengatasi persoalan keamanan yang lebih esensial seperti mengawasi peredaran narkoba dan penyelundupan barang atau manusia di wilayah perbatasan.

Perbubahan fungsi UN itu juga membuat anak-anak akan mengubah sikap mental mereka. Mereka, terutama yang tinggal di wilayah tertinggal, tak harus lulus UN. Mereka bisa mengerjakan soal-soal dengan jujur tanpa ada beban kekhawatiran harus lulus. Guru-guru pun tak harus menanggung beban perasaan bahwa jika banyak siswanya yang tak lulus UN, dia akan terpengaruh oleh citra kegagalan membawa siswanya lulus dalam UN.

Dari aspek siswa dan orangtua, pengurangan fungsi UN itu memberikan berkah. Namun, sesungguhnya yang dibidik oleh para pengamat pendidikan seperti Iwan Pranoto, Acep Iwan Saidi dan Doni Koesoema bukanlah cuma mengurangi fungsi UN tapi menghapuskannya sama sekali. Bagi mereka, UN selama ini tak memberikan manfaat yang signifikan malah menurunkan kualitas pendidikan yang otentik. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan UN terlalu besar dan bisa dialihkan untuk perbaikan mutu pendidikan lewat pelatihan guru-guru, terutama guru-guru di daerah terpencil.

Mengapa UN masih dilaksanakan? Anies menegaskan bahwa pemetaan kualitas pendidikan masih perlu sehingga UN tak serta merta dihapuskan. Bahkan pelaksanaannya akan lebih disempurnakan. Dengan perubahan fungsi UN itu, tambah Anies, otomatis terjadi juga perubahan dalam penyelenggaraan UN. Ada janji dari penguasa dunia pendidikan di Tanah Air itu bahwa pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Perubahan itu antara lain dalam bentuk hasil yang lebih rinci dalam evaluasinya.

Pada akhir masa studi, murid akan menerima dua dokumen berupa sertifikat tamat dan surat keterangan kelulusan UN. Dengan cara demikian, pasti ada beberapa kemungkinan. Semua anak ada kemungkinan tamat setelah ujian tapi belum tentu semuanya lulus UN. Kemungkinan terburuk adalah tidak tamat dan tidak lulus UN.

Sistem yang ditempuh Anies ini akan berdampak positif bagi sekolah-sekolah yang berada di lingkungan masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan. Para pendidik di sekolah-sekolah yang sebagian siswanya adalah dari kalangan keluarga yang bermasalah seringkali mendapat teror dari siswa sendiri ketika tak lulus. Kini, dengan kebijakan Mendikbud untuk tidak menjadikan UN sebagai barometer kelulusan siswa, teror semacam itu otomatis lenyap dengan sendirinya.

Yang menyisakan soal dalam probematika UN adalah penghapusannya, yang dituntut oleh para pemerhati pendidikan itu. Untuk masalah ini, agaknya pemerintah bergeming, tetap pada pendiriannya bahwa UN tetap ada bahkan akan dipercanggih pelaksanaannya di tahun-tahun mendatang.

Bahkan Anies menjanjikan akan mengundang pakar-pakar dunia yang ahli dalam membuat soal-soal yang kredibel dan valid dari negara-negara lain. Pakar-pakar itu akan diundang datang ke Indonesia untuk memberikan pelatihan bagi ahli-ahli pendidikan di Indonesia yang ditugasi untuk membuat soal-soal UN. Dijanjikan oleh Anies bahwa implementasi pelatihan oleh pakar dunia itu berlangsung untuk menghdapi UN 2016.

Sebetulnya tuntutan penghapusan sama sekali UN tampak cukup drastis dan mungkin bukan pilihan jalan tengah yang lebih mendatangkan kebaikan. Maka muncul kemudian usul bahwa UN masih tetap akan dilaksanakan dan pelaksanakaannya tidak perlu untuk semua siswa di semua sekolah di Indonesia.

Jalan tengah semacam itu, yakni menyelenggarakan UN tidak setiap tahun, bisa setiap tiga atau lima tahun, dan cukup dilaksanakan di sejumlah sekolah dengan persebaran yang merata, seperti orang menyelenggarakan jajak pendapat, untuk mendapatkan gambaran pemetaan kualitas pendidikan, agaknya layak dipilih.

Apa pun yang akan dipilih oleh pemerintah, pilihan yang ditetapkan Anies untuk tidak menjadikan UN sebagai syarat kelulusan agaknya perlu diapresiasi oleh pengamat dan kritikus pendidikan. Sebab, tidak ada lagi alasan untuk membeli soal-soal bocoran UN, dan guru-guru pun tidak perlu cemas untuk menghadapi UN yang sebelumnya dipandang menakutkan itu.