Saya Ingin Terus Hidup Demi Anak

id HIV/AIDS

Saya Ingin Terus Hidup Demi Anak

STOP HIV/AIDS (FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma )

Tidak ada yang membedakan Radiaz Hages Trianda (32) dengan orang-orang lain. Saat ditemui di rumahnya, kawasan Margonda, Depok, Kamis (4/12) lalu, Hages menyambut Antara bersama anaknya dengan ramah.
         
"Susah, ya, mencari rumahnya? Rumah saya di sana, ayo silakan," kata Hages, panggilan akrabnya, kepada Antara.
         
"Ini anak saya. Mirip dengan saya, ya?" katanya memperkenalkan anak terkecilnya yang berusia dua tahun. "Kakaknya," lanjut dia, "masih belum pulang sekolah."
    
Hages kemudian mengajak Antara masuk ke rumahnya yang juga menjadi sekretariat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kuldesak. Di dalam rumah, suaminya, Samsu Budiman (37), sudah menunggu.
         
Di dalam rumah terdapat beberapa poster dan majalah mengenai HIV/AIDS. Lembaga Swadaya Masyarakat Kuldesak memang bergerak di bidang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba).
         
Bukan tanpa alasan Hages dan Samsu bergerak di bidang tersebut. Bersama tujuh orang temannya yang lain, mereka mendirikan LSM tersebut berawal dari Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
         
"Kelompok Dukungan Sebaya merupakan wadah bagi ODHA untuk saling mendukung dan menyemangati. Mengingatkan untuk minum obat dan lain-lain. Dari situ, KDS ini kami kemudian berpikir supaya bisa lebih bermanfaat bagi yang lain," kata Hagges.
         
Ya, Hages dan Samsu merupakan pasangan suami-istri ODHA. Mereka berdua pernah mengalami masa-masa buruk ketika harus mendapati diri divonis positif HIV.
         
"Kami ini pasangan 'DJ', duda-janda. Kami bertemu saat sama-sama aktif di KDS dulu," jelas Hages.
         
Pernikahan mereka merupakan yang kedua setelah divonis positif HIV.

    
Tertular dari Suami
    
Hages menuturkan bahwa dirinya tertular HIV dari suami pertamanya. Awalnya, dia tidak tahu bahwa suaminya positif HIV. Namun, dia tahu bahwa suaminya adalah mantan pengguna narkoba suntik yang berisiko tertular HIV.
        
"Ketika menikah pada tahun 2005, dia sudah lama sekali berhenti. Sudah tidak pakai lagi. Saya juga melihat dia sehat-sehat saja. Memang dia mengaku ada hepatitis," tuturnya.
        
Perkenalan Hages dengan suaminya memang hanya berlangsung singkat. Masa pacaran hanya berjalan tiga bulan. Setelah itu, mereka langsung menikah. Itu sesuai dengan permintaan Hages kepada suaminya. Bila memang serius, dia minta segera dinikahi.
         
Taklama setelah menikah, Hages pun langsung hamil. Masa kehamilan dan persalinan dilewati tanpa ada hambatan sama sekali. Hages dan suaminya pun merasa sangat bahagia dikaruniai anak laki-laki.
         
Namun, kebahagiaan Hages bersama suaminya tak berlangsung lama. Hanya 40 hari setelah anaknya lahir, suaminya tiba-tiba jatuh sakit. Hanya dalam waktu singkat, berat badan suaminya menurun drastis.
         
"Badannya sudah kurus kering. Saat diperiksa dokter, ada tifus, ada demam berdarah. Saya bingung, kok, semua ada," katanya.
         
Dokter kemudian menanyakan latar belakang suami Hages. Begitu mengetahui suami Hages mantan pengguna narkoba suntik, dokter langsung menyarankan untuk melakukan tes HIV. Ternyata hasilnya positif.
         
"Saya kemudian juga langsung tes HIV. Saya khawatir positif juga dan menular ke anak saya. Ternyata saat itu hasil tes saya negatif. Jadi, saya terus menyusui anak saya," kisahnya.
         
Namun, saat berusia tiga bulan, anaknya tiba-tiba jatuh sakit. Dia mengalami diare akut dalam waktu lama. Khawatir anaknya positif HIV, dokter menyarankan untuk dilakukan tes kembali.
         
Bagai tersambar petir, Hages harus menerima kenyataan bahwa anaknya dinyatakan positif HIV. Hasil tes dirinya pun menyatakan dia positiv HIV. Sebelumnya, dia dinyatakan negatif karena masih masa jendela, yaitu virus di dalam tubuhnya bersembunyi sehingga tidak terdeteksi.
         
"Hati saya hancur. Akan tetapi, dokter bilang, anak berusia di bawah 18 bulan masih meminjam sistem imun ibunya. Jadi, masih ada kemungkinan anak saya negatif. Sejak itu saya berhenti menyusui," tuturnya.
         
Kenyataan bahwa Hages dan anaknya positif HIV ternyata berpengaruh pada kesehatan suaminya. Suaminya merasa tertekan karena sudah menulari Hages dan anaknya. Pengobatan yang dilakukan pun menjadi sia-sia karena dia tidak memiliki semangat hidup.
         
Dia mengalami depresi dan tidak memiliki semangat hidup. Akhirnya saat anak Hages berusia lima bulan, suaminya meninggal. Bukan karena sakitnya, melainkan karena depresi.
         
"Saat melihat jenazah suami, saya berpikir, kalau anak saya juga positif HIV, satu generasi akan hilang. Saya dan anak saya pasti akan segera menyusul," katanya.
         
Namun, saat itu Hages masih memiliki semangat hidup. Dia ingin melihat apakah anaknya selamat dari virus HIV saat berusia 18 bulan.
         
"Saya berdoa semoga saya masih diberi hidup sampai anak saya 18 bulan. Saya penasaran. Saya ingin terus hidup untuk anak saya. Saya ingin membesarkan anak saya," ujarnya.
         
Akhirnya, ketika anaknya berusia 18 bulan, dokter menyatakan negatif HIV. Seketika itu, semangat hidup Hages bertambah untuk merawat anaknya.

    
Kesehatan Memburuk
    
Pada tahun 2010, tiba-tiba saja kesehatan Hages memburuk. Dia mengalami diare akut dan berat badannya menurun drastis. Dokter menyatakan dia sudah terkena AIDS stadium tiga.
         
"Saya sebelumnya memang tidak pernah mengonsumsi obat. Saya hanya mengandalkan semangat hidup saja untuk membesarkan anak saya. Ternyata akhirnya saya drop juga," tuturnya.
         
Sejak itu, dia pun harus mulai terapi obat-obatan. Setiap 12 jam, obat harus dia minum. Masa adaptasi selama enam bulan itulah yang sangat menyiksa baginya.
         
Hages mengatakan bahwa efek dari obat-obatan itu berbeda bagi setiap orang. Bagi Hages, obat-obatan itu membuat dia tidak bisa bangun dari tempat tidur dan terus-menerus muntah. Persendiannya pun terasa sakit sehingga dia tidak bisa bergerak.
         
"Keluarga, terutama ibu yang merawat saya. Beliau bagaikan merawat dua bayi, yaitu anak saya dan saya. Pernah obat-obatan itu saya buang dan sembunyikan karena merasa tidak sanggup lagi minum obat. Namun, ibu dan anak saya terus memberikan semangat," ceritanya.
         
Pada saat itulah, dia berdoa kepada Tuhan. Dia berdoa supaya bisa diberi kehidupan lebih panjang. Dia ingin bisa lebih bermanfaat bagi manusia sekitarnya.
         
"Saya berpikir, mungkin selama ini saya terlalu sombong dan egois. Oleh karena itu, saya berdoa dan berjanji pada Tuhan, bila bisa melewati ini, akan melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain," katanya.

    
Pemakai Narkoba Suntik
    
Lain Hages, lain pula kisah Samsu. Sebelum menikah dengan Hages, Samsu sudah pernah menikah dan juga dikaruniai anak laki-laki. Dia tertular HIV karena sebelumnya pernah kenggunakan narkoba suntik.
         
"Saya ketahuan positif juga setelah 10 tahun berhenti menggunakan narkoba. Saat itu saya sudah bercerai dengan istri pertama saya. Saya langsung mengontak dia supaya dia dan anak kami tes HIV. Ternyata hasilnya negatif," tuturnya.
         
Samsu menyatakan sangat bersyukur karena tidak harus menularkan virus HIV kepada mantan istri dan anaknya. Tidak ingin orang-orang lain tertular HIV, dia pun aktif di KDS dan mengampanyekan tentang virus dan penyakit tersebut.
         
Saat aktif di KDS dan LSM itulah, Samsu bertemu dengan Hages. Karena memiliki kesamaan pemikiran dan merasa cocok, akhirnya pada awal 2012 mereka menikah.
        
"Sebelum menikah, kami juga sudah membicarakan keinginan untuk memiliki anak. Kami sudah konsultasi ke dokter dan ternyata memungkinkan. Maka, kami kemudian menjalani program supaya bisa hamil dan melahirkan anak yang sehat," kata Hages.
         
Pasangan ODHA memang masih memungkinkan untuk memiliki anak tanpa menularkan virus HIV. Syaratnya adalah saat berhubungan suami istri, kondisi keduanya harus baik. CD4, atau tingkat imunitas tubuh, harus tinggi dan viral loud, tingkat virus HIV, harus tak terdeteksi.
         
"Akhir 2012 kami sudah memiliki anak lagi. Di luar program untuk memiliki anak itu, kami harus menggunakan kondom saat berhubungan. Itu karena virus yang ada di tubuh kami berbeda. Kalau bertemu bisa saling bermutasi," tutur Hages.
         
Kini, bersama teman-teman ODHA di LSM Kuldesak, Hages dan Samsu aktif melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Depok. Di Depok, merekalah yang pertama kali membentuk lembaga. Menurut mereka, sedikitnya 400 ODHA di Depok.
        
Hages dan Samsu mengatakan ODHA juga memiliki hak untuk hidup. Oleh karena itu, mereka berharap tidak ada lagi diskriminasi yang diterima ODHA. Itulah yang mereka kampanyekan saat ini.
        
"Kami menjadi 'role model' bahwa ODHA juga bisa beraktivitas normal dan bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, jauhi virusnya, jangan orangnya," kata mereka.