Pesan Jacques-Remy Girerd Dalam Animasi

id Pesan Jacques-Remy Girerd Dalam Animasi

Jakarta (ANTARA Lampung) - "C'est la vie (begitulah hidup), saya tidak sengaja mengenal animasi." 
Awalnya animator Prancis Jacques-Rémy Girerd hanya mempelajari gambar dan mengukir patung di Sekolah Seni Rupa Lyon sebelum tertarik mendalami animasi. Kala itu, banyak orang mendorongnya untuk menekuni hal baru tersebut.

"Tadinya hanya membuat satu-dua film, tidak terasa jadi seratus," tukas Girerd lalu tersenyum.

Saat itu, belum banyak tokoh animator yang menjadi inspirasinya karena industri kreatif tersebut belum begitu berkembang.

"Hanya ada film-film Disney," kata dia.

Walaupun begitu, animasi Amerika Serikat tidak menjadi kiblatnya dalam berkarya. Menurutnya, animasi Eropa lebih memberikan ruang untuk mengembangkan kreativitas, misalnya lewat teknik gambar manual. Berbeda dengan animasi AS yang disebutnya banyak mengandalkan teknik digital.

"Animasi Eropa itu beragam, tidak ada yang seragam," ungkap dia.

Girerd adalah seorang sutradara dan produser film animasi Prancis yang karyanya kerap mendapatkan penghargaan.

"Mia et le Migou" (Mia and the Migoo) dinobatkan sebagai The Best Animated Feature di ajang European Film Awards 2009.

Setahun kemudian, film "Une Vie de Chat" (A Cat in Paris) dinominasikan penghargaan Oscar kategori film animasi terbaik 2010.

Tidak hanya membuat film pendek, pria kelahiran Maret 1952 itu juga menyutradarai tiga film panjang seperti "La Prophétie des grenouilles" (Raining Cats and Frogs) dan "Tante Hilda!" yang lolos kompetisi Berlinale 2014.

Girerd menelurkan beragam karya lewat studio animasi Folimage yang didirikan pada 1981. Studio ini telah menghasilkan lebih dari 60 judul film pendek dan film panjang, serial televisi, dan produksi film kredit yang ditujukan untuk penonton segala usia.

Dia juga menularkan ilmunya melalui sekolah animasi La Poudrière yang digagas pada 1999.

"Hingga sekarang belum ada siswa dari Indonesia, mungkin akan ada kelak," ujar pria yang menjadi bintang tamu di Festival Sinema Prancis 2014 untuk memberikan kuliah umum seputar animasi.

Salah satu ciri khas dari karya-karyanya adalah mengemas isu penting dalam kemasan ringan nan menghibur. Girerd mencontohkan film "Mia and the Migoo" yang menyiratkan isu penggundulan hutan.

"Mia and the Migoo" berkisah tentang Mia, gadis kecil berusia 10 tahun yang pergi meninggalkan desanya di Amerika Selatan untuk mencari ayahnya. Sang ayah bekerja di proyek pembangunan yang mengubah hutan tropis menjadi komplek hotel mewah. Sebelum bertemu ayah, Mia harus menaklukkan gunung beserta hutan dan penghuninya yang misterius.

"Saya sering mengangkat tema tragicomedy. Ceritanya tragis tapi ada unsur humor," ujar dia.

Sebagai seorang animator sekaligus ayah dari empat anak, dia terpacu untuk membuat film yang bermanfaat untuk ditonton generasi muda.

Suatu kepuasan tersendiri saat buah hati dapat menyaksikan karyanya di layar kaca maupun layar lebar.

"Saya tidak terlalu memikirkan marketing, tapi tentang apa yang patut dan ingin ditonton anak saya," ujar dia.

                                              Kendala Dana dan Publisitas
Menurut dia, salah satu hal penting dalam produksi film adalah soal publisitas. Meskipun demikian, Girerd mengakui publisitas animasi Prancis belum segencar animasi Amerika Serikat.

Dia menganalogikan dana yang dikeluarkan untuk memproduksi animasi Prancis setara dengan dana publisitas animasi AS.

"Contohnya film Mia and the Migoo, memang go internasional tapi publikasi kurang. Jadi, hasilnya tidak besar," kata dia.

Namun, pemerintah Prancis disebutnya telah membantu menghidupkan iklim industri kreatif animasi lewat Centre National du Cinéma et de L'image Animée (Badan Perfilman Prancis).

"Sehingga Prancis menjadi produsen film animasi ketiga terbesar di dunia dan pertama di Eropa," jelas dia.

Girerd tentunya ingin agar filmnya ditonton banyak penonton dari penjuru dunia. Namun, tidak semua negara bisa menayangkan filmnya secara legal sehingga penonton dari luar Prancis terpaksa menikmatinya lewat film bajakan.

Hal ini menjadi merupakan dilema bagi Girerd. Di satu sisi dia menganggap itu merupakan aksi kejahatan yang merugikan seniman, di sisi lain dia menyadari kadang pembajakan merupakan satu-satunya cara agar filmnya dikenal di tempat lain.

"Lantas saya harus berbuat apa?" tanyanya retoris.

                                                     Animasi Indonesia 
Girerd mengaku belum banyak menonton animasi Indonesia, namun dia optimistis animasi Tanah Air dapat diputar di Prancis bila kualitasnya sudah bisa mencapai standar internasional.

"Tidak ada sistem perlindungan terhadap sinema luar karena kami sangat terbuka. Masyarakat Prancis dapat menonton banyak film dari negara lain seperti Tiongkok, Jepang, Rusia dan sebagainya," kata dia.

Untuk membuat karya animasi sukses, Girerd mengatakan para animator harus membuat karakter yang dapat merebut hati penonton.
"Buatlah tokoh penting dalam film yang bisa menjadi terkenal, bahkan melebihi filmnya," kata dia.

"Misalnya Mickey (Mouse) yang karakternya 'hidup'," lanjutnya.

Selain itu, dia berpesan agar animator memanfaatkan kekayaan budaya dalam menciptakan karya.

"Tapi tetaplah membuat sesuatu yang bisa diterima secara universal," kata dia.

Jacques-Rémy Girerd menyambangi Indonesia untuk memberikan kuliah umum seputar animasi dalam ajang Festival Sinema Prancis 2014 yang berlangsung pada 4-7 Desember di Jakarta, Bandung, Balikpapan, Bali, Makassar, Malang, Medan, Surabaya dan Yogyakarta.

Tiga film panjang seperti "La Prophetie des Grenouilles", "Mia et le Migou", "Une Vie de Chat" dan 16 film pendek untuk anak dan dewasa yang diproduksi oleh timnya di studio Folimage akan diputar dalam festival yang telah digelar sejak 1996.