Salah satu isu kritis yang dibahas adalah Media dan Perempuan.
Secara garis besar isi klausul itu meliputi : stereotype perempuan di media,
ruang perempuan untuk bisa mengakses media dan gerakan ICT untuk perempuan dan
anak.
Komitmen untuk menghapus stereotype perempuan di media menjadi salah
satu komitmen negara-negara Asia Pasifik. Hingga kini gambaran klise streotype
perempuan masih saja terjadi.
Masih ada media yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang
lemah, tak berdaya, dan hanya mengandalkan kecantikan belaka.
Perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual masih saja
dipersalahkan atas pakaian yang dikenakan, gerak geriknya hingga ucapannya.
Media ketika menampilkan isu kejahatan seksual, masih abai melakukan
perlindungan terhadap korban. Pengabaian terhadap perlindungan identitas korban
kejahatan seksual kerap terjadi. Korban kejahatan seksual diwawancara oleh
jurnalis, sehingga trauma yang timbul akibat kejahatan seksual pun kembali
muncul. Korban terpaksa dan dipaksa menyampaikan trauma yang dialami, kepada
masyarakat melalui media. Tangis histeris korban yang ditampilkan media menjadi
drama yang bagi sebagian media, menjadi 'bumbu penyedap'. Aturan dalam kode
etik jurnalistik, P3SPS 2012, diabaikan oleh media demi keuntungan media.
Perlindungan terhadap jurnalis perempuan di perusahaan media juga
masih belum dilaksanakan secara penuh. Aturan dalam UU No 13 Tahun 2013 tentang
ketenagakerjaan masih diabaikan oleh perusahan media. Penyediaan fasilitas
antar jemput bagi jurnalis perempuan yang bekerja di atas pukul 21.00 WIB belum
sepenuhnya dilaksanakan. Penyediaan ruang menyusui juga belum semua dimiliki
oleh perusahaan media. Tak hanya itu saja, masih ada jurnalis perempuan yang
mengalami kekerasan di tempat kerja. Padahal seharusnya tempat kerja memberikan
rasa nyaman dan aman untuk bekerja. Isu memperjuangkan nasib buruh perempuan
juga menjadi komitmen Negara-negara Asia Pasifik. Hal ini juga selaras dengan
Standar Layak Kerja Jurnalis Perempuan yang diprakasai Aliansi Jurnalis
Independen (AJI).
Ruang perempuan di media masih sulit di akses perempuan karena
media di Indonesia masih dikuasai oleh pengusaha media yang terlibat di partai
politik. Penggunaan teknologi juga masih minim diakses perempuan. Padahal
teknologi memberikan keterbukaan yang baru bagi perempuan.
Namun di lain pihak, isu kesetaraan gender di media telah menjadi salah satu isu yang diangkat media. Perempuan-perempuan cerdas yang bekerja keras dalam karir dan kehidupannya, menjadi salah satu isu menarik bagi media. Persoalan perempuan juga menjadi sebagai salah satu topik yang diangkat media. Perempuan dan politik juga menjadi isu yang kerap diliput media pada tahun politik ini. Memberikan ruang bagi perempuan di media merupakan salah satu komitmen yang telah disepakati bersama pada Konferensi Beijing +20.
Di Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) merekomendasi :
1. Perlindungan korban kejahatan seksual harus dilakukan oleh media tanpa pengecualian. Media seharusnya tidak boleh melakukan kekerasan, steretype, diskriminasi, sensasionalisme terhadap perempuan.
2. Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus intensif melakukan pengawasan atau regulasi terhadap pemberitaan perempuan di media. Kami juga mendesak/menuntut pemerintah untuk menjamin dan memfasilitasi ruang keterbukaan bagi perempuan di media dan demokratisasi perempuan di media.
3. Pemerintah harus menjamin keterbukaan informasi. Perusahaan media harus menjamin independensi, demokratisasi di media
4. Perusahaan media memberikan perlindungan kerja sesuai UU Tenaga Kerja hingga Standar Layak Kerja Jurnalis Perempuan, kepada jurnalis.
Jakarta, 25 November 2014
Eko Maryadi Rach
Alida Bahaweres
Ketua Umum AJI
Indonesia Koordinator Divisi
Perempuan AJI Indonesia