Meraup Rupiah dari Polutan Udara

id Meraup Rupiah dari Polutan Udara

Waykanan, Lampung (ANTARA Lampung) -  Usaha dan semangat untuk berhasil adalah hak setiap orang.

Di Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung, guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Falah Jajang Sumantri bersama empat pemuda dari Kampung Sumamukti dan Bumidana Kecamatan Waytuba "menyulap" asap industri kecil pembuatan arang tempurung kelapa yang biasa menjadi sumber pencemaran (polutan)  udara menjadi asap cair yang memiliki nilai jual cukup tinggi.

"Setahun lalu kami membuat kesepakatan usaha bersama untuk berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri supaya tidak bergantung dengan orang lain," ujar Jajang, di Waykanan, sekitar 220 km sebelah utara Kota Bandarlampung, Selasa (25/11).

Heri Muhammad Fajar, Makruf, Junaidi, dan Tapip Ibnu Anggara, kata Jajang melanjutkan, masing-masing patungan dana Rp5 juta untuk membuat usaha arang dari tempurung kelapa (Cocos nucifera L). Setelah usaha tersebut hendak berjalan, mereka meminta guru Jajang, penulis cerpen edukasi "Menanam Pancasila di Atas Tanah Merah" membantu usaha pengarangan tempurung kelapa yang biasanya mempunyai dampak buruk pencemaran udara dari asap yang dihasilkan.

"Masyarakat sempat protes karena asap yang dihasilkan saat pembakaran tempurung kelapa menutup pandangan mata. Bahkan ada yang menyindir kami membuat kondisi kampung seperti hutan di Jambi yang terbakar. Kegiatan pembuatan arang kelapa sempat kami hentikan, akibat adanya pencemaran udara yang tebal dan membuat warga tidak nyaman," kata Jajang, mantan tenaga kerja Indonesia di Malaysia dan Singapura yang kemudian menjadi pengajar bidang studi Bahasa Inggris di MTs Nurul Falah di Kampung Bumidana itu lagi.

Berdasarkan sejumlah penelitian, pencemaran udara akibat pembakaran salah satunya, berdampak negatif karena mengganggu lingkungan hidup, aktivitas masyarakat serta kesehatan manusia. Pencemaran udara dapat membuat terjadi hujan asam karena adanya pengikatan oksida nitrogen dan air di udara, sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu, ada pula "green house effect" atau efek rumah kaca akibat menumpuknya senyawa karbon dioksida di atmosfer bumi yang dapat menaikkan suhu udara secara global dan mengubah pola iklim bumi serta dapat mencairkan es di kutub yang berpotensi mempengaruhi keseimbangan ekologi.

Bagi manusia sendiri, pencemaran udara juga dapat merugikan kesehatan. Komponen tubuh, seperti mata, hidung, tenggorokan, paru-paru, jantung bisa terjangkit beragam penyakit yaitu iritasi, batuk, sesak napas, radang tenggorokkan, dan kanker paru-paru.  Bahkan, polutan udara dapat membuat fungsi dan koordinasi motorik di dalam otak menjadi lemah karena kadar O2 atau oksigen menurun.

                                           Nyalakan Lilin

Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan", demikian petuah kuno dari Negeri Tirai Bambu (Tiongkok). Atau menurut masyarakat Jawa: "Sapa temen bakal tinemu", yang artinya: "Siapa yang melakukan usaha dengan sungguh-sungguh akan memperoleh hasil seperti yang diidam-idamkan".

Menyadari kesalahan dan belajar mengenai lingkungan hidup yang sehat tanpa pencemaran udara hingga pembuatan arang tempurung kelapa di sejumlah tempat, seperti di Tasikmalaya, Jawa Barat. Empat pemuda di daerah pedalaman Lampung bersama Jajang yang dilahirkan di Garut, Jawa Barat 1964 itu, akhirnya membuat penyulingan kering atau pirolisis asap pembakaran tempurung kelapa di halaman belakang rumah Junaidi yang berada di Kampung Sumamukti yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Kampung Bumidana.

Sejumlah tong bekas mereka modifikasi menjadi lebih besar, berpintu dan beratap, memiliki tinggi sekitar 2 meter dan diameter sekitar 1,5 meter. Di atas atap itu, ada pipa zig-zag yang mereka sebut 'leher angsa' untuk menyalurkan asap menuju tempat penyulingan ketika tempurung kelapa dibakar selama kurang lebih 8 jam di ruang tertutup terbuat dari tong. Pada proses itu, asap yang mengembun menjadi cairan berwarna coklat pekat.

"Hasil pertama dari polutan yang ditangkap berupa asap cair yang bisa untuk membekukan karet, sudah dibawa dan di cek ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, kualitasnya cukup bagus, di atas cuka.  Untuk merayakan keberhasilan tersebut, asap cair hasil pembakaran tempurung kelapa kami bagikan ke masyarakat yang memiliki kebun karet," kata Jajang yang menamatkan pendidikan SMA di Poncowati, Lampung Tengah tahun 1984 itu pula.

Di Martapura, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Provinsi Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Kecamatan Waytuba, Kabupaten Waykanan, demikian Jajang melanjutkan, harga asap cair pabrikan biasa dijual Rp20 ribu per liter.

"Kami bangga sudah bisa membuat asap cair sendiri. Hasil mempraktikkan ilmu yang didapatkan dari sejumlah tempat dan belajar. Selain itu, kami juga sudah tahu berapa nilai ekonomis dari limbah pemanfaatan buah kelapa seperti kopra ini," kata Jajang yang  tinggal di Kampung Bumidana, daerah pedalaman Kabupaten Waykanan yang berada sekitar 50 kilometer dari jalan lintas Sumatera Waytuba, sejak 1990 itu pula.

Namun, Jajang dan empat anak muda itu masih memiliki mimpi lebih lanjut dalam pengelolaan polutan asap pembakaran tempurung kelapa. Suatu mimpi yang mengingatkan ungkapan bijak masyarakat Sunda, "Sato busana daging. Jalma busana élmu", yang  berarti "Binatang pakaiannya daging. Manusia pakaiannya ilmu". Ungkapan yang menyatakan bahwa nilai harga binatang seperti sapi ditentukan berdasarkan dagingnya (gemuk atau kurus). Sedangkan nilai harga manusia ditentukan oleh ilmu yang dimiliki.

Hasil kedua polutan yang ditangkap melalui penyulingan kering menurut Jajang bisa digunakan sebagai pengawet alami ikan segar, daging, tahu dan lain sebagainya. "Untuk asap cair 'grade' kedua, harganya cukup fantastis, Rp60 ribu per liter. Nilai jual tersebut lebih tinggi dari harga arang tempurung, Rp3.600 per kilogram, dan kami sedang menuju ke sana," kata Jajang lagi.

Setiap 2 ton tempurung kelapa, ketika dibakar akan menghasilkan arang 600 kilogram. Nilai jual tersebut tidak membuat rugi, namun hanya untung tipis. Karena itu, 150 liter asap cair dihasilkan dari pembakaran itu merupakan keuntungan tambahan yang fantastis. Selain itu, ada keuntungan tambahan lain, yaitu sisa-sisa pembakaran tempurung kelapa yang halus serupa debu bisa untuk pupuk karena mengandung kalium klorida (KCl).

"Saya sudah uji coba pada tanaman kelapa sawit yang belum pernah berbuah, satu karung debu tempurung kelapa bisa untuk empat hingga lima pohon sawit, dan hasilnya mengagumkan, sekarang pohon sawit yang susah berbuah sudah mulai berbuah," ujar Jajang mengingatkan istilah Jepang, 'Kaizen' yang bermakna "perbaikan berkesinambungan" hingga petuah Bung Karno: "Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam."

Kini, dengan usaha keras dan kegigihan mereka telah menuai berkah dan meraup untung, justru dari polutan yang selama ini selalu membuat susah masyarakat dan merusak lingkungan sekitarnya.