Jakarta (ANTARA Lampung) - Berdasarkan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2013, untuk satu izin Hak Pengusahaan
Hutan/Hutan Tanaman Industri (HPH/HTI), potensi transaksi koruptif
berkisar antara 688 juta rupiah sampai 22 miliar rupiah setiap tahun.
KPK melakukan evaluasi pelaksanaan Nota
Kesepakatan Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa, dan diikuti oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, pimpinan 12 kementerian
dan lembaga, para gubernur dan bupati dari 18 provinsi.
Busyro Muqoddas mengatakan NKB bukan semata-mata fokus pada pengembalian
potensi penerimaan negara, melainkan juga perbaikan pada tata kelola
yang lebih berkeadilan.
"Sebab dalam perundangan, rakyat
yang berdaulat itu harus menjadi penerima manfaat utama dari kebijakan
pemerintah yang adil dan sejahtera," katanya.
Dari salah satu persoalan saja, katanya, misalnya perizinan sumber daya alam masih rentan suap atau pemerasan.
Ada pula persoalan mengenai ketidakpastian status pada lebih dari 100
juta hektare kawasan hutan, serta ketimpangan yang terjadi pada
pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar. Hanya sekitar tiga
persen yang dialokasikan untuk skala kecil.
Setahun
berjalan, hingga saat ini total implementasi NKB baru mencapai 50
persen. Secara riil, angka tersebut seharusnya dapat menjadi indikator
peningkatan kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya
alam, termasuk memberikan kontribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP) kepada negara.
Di bidang harmonisasi regulasi dan
kebijakan SDA misalnya, perkembangan implementasi telah menyusun
rancangan yang merevisi Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan Hutan,
Penerbitan Permentan 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,
serta Penerbitan Permen ESDM 37 tahun 2013 tentang Kriteria Teknis
Peruntukkan Kawasan Pertambangan dan Pengembangan Minerba One Map
Indonesia.
Perkembangan implementasi pada hal teknis dan
prosedural pengukuhan kawasan hutan telah tercapai beberapa hal, antara
lain pemutakhiran peta dasar skala 1:50 ribu dan penyediaan citra
satelit resolusi tinggi kepada pemerintah daerah, pelaksanaan pelatihan
pemetaan partisipatif dan rancangan SOP pemetaan partisipatif, serta
penerbitan Permenhut P.62/2013 tentang perubahan Permenhut P.44/2012 dan
Permenhut P.25/2014 tentang Panitia Tata Batas.
Terkait
dengan resolusi konflik, telah tercapai dua hal, yakni Pelaksanaan
National Inquiry oleh Komnas HAM, serta penerbitan edaran kepada
pemerintah daerah untuk segera melakukan pemetaan sosial terhadap
masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal di sekitar hutan.
Namun demikian, sejumlah hambatan dan tantangan juga masih ada dalam
perjalanan implementasi NKB ini, antara lain persoalan egosektoral dan
koordinasi antarkementerian/lembaga, implementasi rencana masih menjadi pemenuhan dokumen semata, belum memberikan kontribusi terhadap kepastian
hukum, pelibatan masyarakat belum optimal, perlu memperhatikan arah
pembangunan pemerintahan baru dan perubahan strukturnya, dan rencana
aksi kurang fokus pada hal-hal strategis.