Pilkada: DPRD atau Pilihan Langsung?

id Pilkada: DPRD atau Pilihan Langsung?

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Menentukan pilihan politik, apakah pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dipilih oleh DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat, seharusnya bisa menjawab persoalan pokok apa yang menjadi masalah dalam pemilihan kepala daerah? 

Persoalan pokok baik kepala daerah dipilih langsung rakyat atau dipilih DPRD, yaitu tidak terjamin prinsip jujur dan adil (jurdil) dan merosotnya moralitas politik. Kepala daerah dipilih langsung, kendati memberi ruang yang terbuka pada semua orang untuk mencalonkan diri, tetapi dalam realitasnya hanya bisa dinikmati oleh calon yang memiliki kekuatan uang yang bisa bersaing, sementara calon yang tidak didukung kekuatan uang cenderung hanya jadi pelengkap penderita saja. Hal yang sama juga jika pilkada dipilih DPRD, maka lagi-lagi kekuatan uang akan menentukan menjadi pemenangnya, karena modus ini juga pernah terjadi pada periode 1999--2005. 

Seharusnya yang ditawarkan pilkada oleh DPRD memberi garansi tidak ada ruang terjadi praktik politik uang (money politic) dan proses recruitment calon kepala daerahnya lebih terbuka dan selektif, sehingga bisa menawarkan calon-calon kepala daerah yang sejalan dengan pilihan publik bukan hanya sebatas pilihan parpol.

Upaya itu, bisa dilakukan dengan memperketat persyaratan calon dan memberi ruang bagi lembaga penegak hukum, seperti KPK dan publik untuk bisa mengawasi proses pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Jadi, pemilihan kepala daerah benar-benar terawasi dan posisi-posisi anggota dewan betul-betul mandiri, otonom dan rasional dalam memilih calon kepala daerah. 

Tetapi, kalau pemilihan kepala daerah oleh DPRD, tidak bisa menggaransi untuk mengatasi dugaan terjadi praktik politik uang dan tidak selektif serta tidak terbuka dalam memilih calon kepala daerah, maka perubahan pilkada langsung yang akan digantikan oleh DPRD tidak mempunyai makna untuk menjawab persoalan pokok yang selama ini dipersoalkan oleh publik yaitu masalah moralitas politik.

Jadi, isu perubahan pemilihan kepala daerah yang harus diangkat adalah masalah moralitas politik dan menggaransi adanya persaingan politik yang lebih terbuka, rasional, adil, jujur dan bebas dari praktik-praktik politik yang tidak mendidik; bukan pada persoalan karena efisiensi anggaran sebagaimana sering dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi.

Undang Undang Pilkada dan peraturan pemerintahnya seharusnya bisa menjangkau pada tataran teknis yang tidak memberi ruang terjadi persaingan politik yang tidak sehat. Sejauh ini, undang-undang yang mengatur pilkada atau juklak-juknis KPU yang mengatur teknis pilkada tidak bisa diterjemahkan secara oprasional di lapangan, sehingga berwarna abu-abu. Misalnya, istilah kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif). Regulasi yang tidak ketat dan berwarna abu-abu ini yang berakibat persaingan politik menjadi tidak terkontrol dan memberi ruang terjadi praktik politik uang. 

Menentukan pilihan pilkada oleh DPRD atau tetap dipilih langsung oleh rakyat prinsipnya harus bisa mengatasi kelemahan yang ada, bukan karena ada ambisi dari dominasi Koalisi Merah Putih untuk menguasai kepala daerah.  

Jadi, aspek kepentingan jangka panjang dan kemaslahatan politik bagi kepentingan perbaikan bangsa Indonesia ke depan untuk membangun peradaban politik, harus lebih diprioritaskan ketimbang mengedepankan aspek kepentingan kelompok. 

*) Penulis adalah Pengajar di FISIP Universitas Lampung