Pendidikan Untuk Rakyat Miskin

id dunia pendidikan, kurikulum, jokowi, menteri, kemiskinan

Jakarta, (ANTARA LAMPUNG) - Dalam berbagai kesempatan kampanye sebelum terpilih sebagai presiden periode 2014-2019,  Joko Widodo mengemukakan keinginannya untuk memberikan perhatian serius pada dunia pendidikan di Tanah Air.
         
Logika sederhana Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi adalah bahwa lewat pendidikan lah anak-anak dari keluarga tak mampu akan bangkit dari lembah kemiskinan mereka sehingga mereka tak lagi mewarisi kondisi memprihatinkan dari keluarga mereka.
         
Kemiskinan memang merupakan salah satu penyakit sosial yang perlu diatasi dan kini Jokowi yang secara resmi menjadi orang pemegang jabatan politik nomor satu di Indonesia punya kesempatan merealisasikan keinginannya.
         
Tentu mengatasi kemiskinan yang bermartabat tak perlu harus lewat pembagian uang tunai seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Membagi-bagi uang tunai hanya melahirkan mentalitas kaum peminta-minta, dalam bahasa Jawa sering diistilahkan dengan kaum yang ndremis.
         
Yang paling ideal adalah memberikan peluang yang lebar pada  anak-anak dari keluarga miskin untuk mengenyam pendidikan sampai minimal sekolah lanjutan tingkat atas, syukur-syukur jika sampai perguruan tinggi.
         
Harus diakui bahwa sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin sudah tertakdir menerima ketakadilan struktural. Mereka, sekalipun diberi kesempatan sekolah gratis, tetap saja kalah bersaing dengan anak-anak dari keluarga berada.
         
Bayangkan,  setelah bangun pagi mereka harus berhadapan dengan kemiskinan yang akan melemahkan stamina karena harus sarapan dengan menu murahan yang tak sesuai dengan standar kesehatan. Tak jarang di antara mereka tidak sarapan ketika berangkat ke sekolah.
         
Mereka hanya memakan makanan tak sehat seperti biskuit produksi pabrik yang sarat kadar pengawet, pewarna dan pemanis sintetis seharga Rp1.000,- yang bukannya bagus untuk perkembangan sel-sel tubuh mereka.
         
Sementara anak-anak dari keluarga berada memperoleh asupan nutrisi yang memadai seperti minum susu segar, roti bakar keju atau coklat atau nasi dengan lauk daging dan sayuran yang mencukupi kebutuhan energi selama mereka beraktivitas di sekolah.
         
Pada saat guru mengajarkan pelajaran di ruang kelas, anak-anak dari keluarga miskin kurang bergairah karena asupan gizi yang tak memadai sementara anak-anak dari keluarga berada dengan bersemangat menerima pelajaran yang disampaikan guru.
         
Itu kondisi pada umumnya.  Tentu ada kasus-kasus pengecualian seperti anak-anak miskin yang diberi anugerah genetika yang prima sehingga tetap cerdas dan bersemangat menerima pelajaran meski asupan gizi mereka tak memadai. Atau sebaliknya, ada anak-anak orang berada yang meskipun sarapannya cukup bernutrisi namun di kelas tetap ogah-ogahan dalam menerima pelajaran dari guru.
         
Kondisi-kondisi seperti itu perlu diperhatikan dalam memberikan kesempatan yang adil pada anak-anak dari golongan miskin dalam merebut kesempatan emas di masa depan mereka.
         
Memang tugas seorang presiden dan elit politik lainlah untuk menciptakan peluang yang adil bagi kelompok miskin untuk keluar dari belitan kemiskinan mereka, lewat jalur pendidikan yang didanai uang rakyat.
         
Alokasi dana pendidikan yang melimpah, sekitar 20 persen dari anggaran negara jika mengikuti amanah konstitusi, merupakan langkah nyata namun yang tak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa dana yang melimpah itu benar-benar digunakan untuk pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kualitas anak-anak dari golongan kurang mampu.
         
Selama ini ada dana melimpah yang kurang efektif dalam memberikan sumbangan pada peningkatan mutu pendidikan, namun malah melahirkan generasi pencontek gara-gara kebijakan ujian nasional. Pemerintah terlalu lamban untuk merespons para pakar pendidikan yang mendesak agar ujian nasional dihapus saja.
         
Yang dipenuhi hanya ujian nasional untuk kalangan siswa sekolah dasar.  Pakar pendidikan seperti Doni Koesoema dan pemerhati pendidikan Iwan Pranoto berkali-kali meminta pemerintah untuk menghentikan ujian nasional. Mereka telah menunjukkan bahwa ujian nasional hanya menghasilkan keburukan yang lebih besar, dibandingkan keuntungannya.
         
Menurut Doni Koesoema, ujian nasional telah menciptakan semangat mencontek dan menghambur-hamburkan dana. Bahkan, beberapa soal yang diujikan adalah hasil contekan panitia pembuat soal dari soal-soal yang dibuat oleh institusi di luar negeri.
         
Pemerintahan Jokowi agaknya perlu menangkap sinyal yang disampaikan oleh pakar pendidikan itu dan menghentikan kebijakan ujian nasional baik untuk tingkat sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas.
         
Dana besar yang biasanya dialokasikan untuk membiayai ujian nasional bisa dialihkan untuk program yang langsung bersentuhan dengan pendidikan bagi anak-anak dari golongan keluarga miskin.
         
Di desa-desa, termasuk di Jawa, masih banyak yang tak memiliki sekolah menengah pertama atau menengah atas. Anak-anak dari keluarga miskin sering putus sekolah setelah lulus sekolah dasar karena jarak antara rumah dan sekolah puluhan kilometer.
         
Mereka yang tak mampu membayar uang transpor harian dari rumah ke sekolah pulang pergi akan memilih putus sekolah dan bekerja sebagai pembantu orangtua di rumah. Anak-anak yang mengalami nasib buruk seperti inilah, yang mestinya punya potensi untuk bersekolah di jenjang yang lebih tinggi, yang perlu dibantu pemerintah.
         
Tanpa bantuan uang transpor pergi-pulang dari rumah ke sekolah dan kembali ke rumah, anak-anak miskin di desa-desa akan memilih tinggal di desa dengan pendidikan yang cuma sekolah dasar.  Jika mereka tak mendapat bantuan akses ke sekolah yang lebih tinggi, mereka akan mewarisi kemiskinan dari orangtua mereka.
         
Mereka ini perlu memperoleh bantuan beasiswa untuk transportasi setelah biaya pendidikan juga digratiskan. Istilahnya harus elegan, yakni bantuan beasiswa, jadi bukan bantuan tunai. Bantuan untuk sekolah harus dibedakan dengan bantuan untuk orang dewasa miskin. Untuk yang terakhir ini sebaiknya dihindarkan.
         
Melihat riwayat hidup Joko Widodo yang bukan dari keluarga berada di masa kecil, kemungkinan untuk memberikan perhatian pada anak-anak dari keluarga miskin akan terbuka lebar karena ada nostalgia psikis atas nasib pribadi di masa lalu.
         
Dengan pilihan kebijakan pendidikan untuk rakyat miskin inilah, salah satu janji politik sang presiden telah terealisaikan.