Ekspor Kakao Lampung Juli Sebanyak 203 Ton

id kakao, kopi robusta, komoditas unggulan, lampung, aeki

Ekspor kakao Lampung itu masih terus berlangsung, mengingat komoditas itu merupakan produk andalan daerah."
Bandarlampung, (ANTARA LAMPUNG) - Volume ekspor kakao Provinsi Lampung pada Juli 2014 sebanyak 203,20 ton dengan nilai devisa sebesar 673.060 dolar Amerika Serikat.
         
"Ekspor kakao Lampung itu masih terus berlangsung, mengingat komoditas itu merupakan produk andalan daerah," kata Kepala Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Ferynia, di Bandarlampung, Sabtu.
        
Ia menyebutkan, kakao merupakan komoditas penyumbang devisa cukup besar bagi daerah ini, selain kopi, sawit, lada dan kopra.
        
Sentra-sentra tananam kakao, lanjutnya, tersebar di kabupaten-kabupaten se-Lampung. Sebagian besar warga daerah mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian serta perkebunan termasuk kakao.
        
Sementara tanaman kakao petani di Lampung Timur, Provinsi Lampung makin meluas seiring dengan meningkatnya minat masyarakat setempat membudidayakan tanaman tersebut dalam beberapa tahun terakhir.
        
Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten Lampung Timur saat ini kebun kakao seluas 13.942 ha dan produksinya rata rata 744,447 ton setiap tahunnya.
        
Harga kakao di pasaran  saat ini cukup tinggi dibandingkan dari harga sebelumnya.
        
"Harga kakao selumnya berkisar antara Rp34.000 per kologram, saat ini menjadi Rp38.000 per kilogram," kata Mad Jema'in, petani kakao asal kawasan Gunung Balak, Lampung Timur.
        
Ia mengatakan bahwa meskipun harga mengalami kenaikan yang cukup tinggi, tetapi harganya sering berfluktuatif.
       
Menurutnya, tingginya harga kakao belakangan ini merupakan dampak dari menurunnya produktivitas kakao karena memasuki musim gugur atau peremajaan buah dari kakao sendiri.
        
Idealnya, lanjutnya, musim panen raya kakao terjadi pada April-Juni, sehingga wajar jika harga kakao sekarang ini selangit.
       
Mad Jema`in menjelaskan, kendati berbuah, petani kakao hanya menikmati masa panen skala kecil mulai September hingga Januari, petani biasa menyebutnya dengan panen selingan yang hanya dapat mengganti biaya perawatan saja.
        
Ia meyakini, apabila kenaikan harga hanya permainan para tengkulak yang memanfaatkan masa panen atau tidak, sehingga jika dikaji secara penghasilan ekonomi, maka petani kakao yang dirugikan.
        
Jema`in mengharapkan, upaya perlindungan kestabilan harga dari pemerintah setempat dari permainan tengkulak sendiri, agar petani kakao dapat lebih meningkatkan hasil produksinya.
       
Suroso, petani kakao asal Way Jepara, Lampung Timur, mengatakan  harga kakao di kawasan Gunung Balak berbeda dengan harga kakao di daerahnya yakni Rp32.000/kg, karena  merupakan harga kakao kering.
        
Ia menyebutkan, semenjak menjadi petani kakao, dirinya belum pernah menemui harga kakao setinggi harga di kawasan Gunung Balak Lampung Timur Provinsi Lampung.
        
Ia menjelaskan, harga kakao pada umumnya hanya berkisar antara Rp23.000/kg-Rp24.500/kg, sedangkan di kawasan Gunung Balak dapat mencapai Rp28.000/kg, harga tersebut merupakan harga sekali jemur.
        
Petani yang saat ini memiliki lahan seluas 1,5 hektare itu juga mengharapkan hal yang sama dengan apa yang menjadi harapan Mad Jema'in.
        
"Saya sangat mengharapkan kesamaan dan kestabilan harga, sehingga kami sebagai petani kakao dapat lebih bersemangat dalam meningkatkan hasil produksi tanaman kami," ujarnya.
       
Pedagang pengempul di Pasar Way Jepara, Eka, mengatakan, sekarang ini sulitnya mencari hasil perkebunan itu, baik dari tingkat petani hingga tengkulak yang masuk ke desa-desa.
        
Sehingga, hal itulah yang mengakibatkan lonjakan harga kakao khususnya di Lampung Timur.
        
Eka menyebutkan, tidak adanya permainan harga dari pihak tengkulak maupun pengecer, selain berkurangnya hasil produksi petani kakao, kenaikan harga kakao juga dipicu oleh meningkatnya permintaan di pasaran.
        
Ia mengharapkan, ada terobosan dari pemerintah daerah untuk mengantisipasi kelangkaan kakao memasuki musim rontok, sehingga petani juga dapat merasakan kestabilan harga.