Perubahan Paradigma dan Pembenahan Pendidikan di Indonesia

id Perubahan Paradigma dan Pembenahan Pendidikan di Indonesia

Perubahan Paradigma dan Pembenahan Pendidikan di Indonesia

Dr Andi Desfiandi, SE, MA (Rektor IBI Darmajaya Lampung).(Foto: ANTARA LAMPUNG/Dok-Ist)

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Sumber daya manusia (SDM) merupakan 'capital' dari suatu bangsa yang berperan sangat sentral dan penting dalam pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa. Di negara-negara maju perlakuan SDM sebagai 'Human Capital' sudah berdekade yang lalu diterapkan dan telah terbukti negara-negara tsb bisa mengakselerasi kemajuan negara mereka dengan cepat, seperti Korea, Jepang, negara-negara Eropa, Singapura, dan sebagaiya. Negara-negara tersebut praktis tidak memiliki kekayaan alam seperti Indonesia, tapi mereka memberdayakan dan mengoptimalkan potensi SDM yang mereka miliki hingga negara-negara tersebut bukan hanya mampu bersaing, tapi mendominasi kemajuan peradaban dunia.

Indonesia selama ini kurang memperhatikan pembangunan SDM, karena Indonesia lebih fokus terhadap eksplorasi sumber daya alam (SDA) yang memang melimpah. Padahal SDA semakin lama akan semakin berkurang dan memerlukan kreativitas, inovasi, nilai tambah, keterbaruan tekhnologi, dan sebagainya dari SDM yang handal dan berdaya saing serta memiliki karakter dan moral yang baik untuk mengelolanya.

SDM yang handal, berdaya saing dan berkarakter hanya bisa dihasilkan oleh sebuah sistem pendidikan yang juga baik dan berkualitas. Berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO, kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat 69 yang masih di bawah Brunei Darussalam, apalagi Singapura, sedangkan ranking pertama adalah Finlandia.

Pendidikan di Indonesia selama ini sepertinya lebih difokuskan mengejar kuantitas (seperrti angka partisipasi kasar/APK, jumlah sekolah/perguruan tinggi, jumlah guru, dan sebagainya), kesempatan pendidikan melalui program sekolah gratis 9--12 tahun serta lebih berorientasi kepada hasil bukan proses. Padahal esensi dan tujuan dari sebuah pendidikan adalah menghasilkan SDM yang berkualitas, berdaya saing dan berkarakter baik. Saat ini pun pemerintah masih berkonsentrasi untuk menambah sekolah, perguruan tinggi (padahal perguruan tinggi di Indonesia sudah lebih dari 3.300), penambahan guru/dosen, program wajib belajar gratis, dan sejenisnya. Kondisi tersebut telah menimbulkan kesenjangan/gap kualitas pendidikan yang sangat timpang antara satu sekolah/perguruan tinggi antardaerah bahkan dalam satu provinsi/daerah sekali pun.

Kesenjangan kualitas tersebut akibat dari tidak seragam (terstandarisasi) kualitas sekolah/perguruan tinggi di Indonesia. Kualitas pendidikan sangat bergantung dari proses pendidikan dan input dari tingkatan pendidikan di bawahnya. Proses pendidikan meliputi kurikulum yang tepat dan 'up to date', tenaga pengajar yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai, tata kelola dan manajemen yang baik dan akuntabel, sistem penjaminan mutu yang berkelanjutan, metode dan media pembelajaran yang tepat dan memadai, dan sebagainya. Masalah kesenjangan kualitas proses pembelajaran tersebut merupakan masalah utama dari ketertinggalan kualitas pendidikan kita dibandingkan negara-negara lain. Ditambah regulasi pendidikan yang kurang adil antara sekolah/perguruan tinggi negeri dan swasta, serta sering berubah kebijakan dan peraturan, pengawasan dan 'corrective action' yang masih kurang dan lamban.

Pada akhirnya ketidaktepatan sistem pendidikan tersebut menghasilkan output pendidikan yang sangat senjang, dimana sebagian kecil berkualitas sedangkan sebagian besar kurang berkualitas. Kemudian terkesan pendidikan kita menghasilkan tambahan pengangguran terdidik setiap tahunnya, serta menghasilkan generasi yang berorientasi instan, kurang produktif, materialistis, hedonis, dan kurang berkarakter.

Seyogianya desain besar pendidikan nasional sudah harus ditata ulang, dimulai dari visi dan misi pendidikan nasional dimulai dari 'family values', prasekolah, TK sampai dengan perguruan tinggi. Pembenahan pendidikan nasional harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder, dan dilakukan dengan cepat dan tepat. Blueprint pendidikan nasional yang disusun meliputi strategi pendidikan jangka pendek, menengah dan panjang. Namun agar momentum persaingan global yang sudah di depan mata, maka prioritas utama adalah strategi untuk 'corrective action' jangka pendek yang segera dilakukan. Pemerintah harus secara serius mengamanatkan UUD 1945 pasal 31 dapat dilaksanakan, bukan hanya sekadar memenuhi wajib belajar saja tapi lebih kepada pemenuhan kualitas pendidikan bagi rakyat Indonesia.

Pemerintah serta dibantu oleh pemangku kepentingan lainnya termasuk pelaku pendidikan harus mengubah paradigma pendidikan, dari sekadar mengejar kuantitas dan hasil menjadi kualitas dan proses yang baik dan benar.

Pembenahan kurikulum yang harus berkesinambungan dimulai dari tingkatan paling rendah sampai paling atas. Konten kurikulum bermuatan pendidikan dan pembangunan karakter porsinya diperbesar dan dimulai dari usia dini, kompetensi anak didik diarahkan berdasarkan minat dan bakatnya, dan baru diperkuat ditingkatan sekolah yang lebih tinggi, paling tidak setelah menginjak SLTP. Sekolah kejuruan diperkuat dan dipertajam disesuaikan dengan kebutuhan pasar serta minat bakat siswa, begitu juga dengan aturan serta kebijakan vokasi dan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi juga harus diatur dan diawasi pelaksanaannya apakah sudah mengikuti kaidah-kaidah pendidikan tinggi dengan baik dan benar, dan sanksi tegas harus diterapkan agar tidak menjadi penghasil sarjana pengangguran. Kurikulum kewirausahaan juga sudah dikenalkan sejak bangku SLTA, untuk mengenalkan kewirausahaan sejak dini. Konten teori dan praktikum disesuaikan sesuai tingkatan sekolah serta jenis pendidikan yang dijalani anak didik. Peningkatan kualitas tenaga kependidikan yang berkelanjutan, peningkatan kualitas sarana prasarana, metode dan media pembelajaran, tata kelola yang akuntabel dan penjaminan mutu yang berkelanjutan, dan sebagainya harus menjadi prioritas pemerintah dan praktisi pendidikan.

Alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN sepatutnya difokuskan dalam peningkatan kualitas proses pendidikan yang meliputi aspek-aspek di atas secara konsisten dan cepat, karena kecepatan sangat dibutuhkan saat ini dalam mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan kita. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya dipecah, pendidikan tinggi dan penelitian sebaiknya dipisahkan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar fokus kepada perguruan tinggi serta peningkatan kuantitas dan kualitas riset (research) yang masih tertinggal output penelitian kita dari negara lain.

Kemendikbud fokus pada pendidikan di bawah pendidikan tinggi dan kebudayaan benar-benar disatukan kembali dengan pendidikan, karena pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan seni. Martabat dari sebuah bangsa tidak semata diukur oleh kualitas pendidikan rakyatnya tapi juga keluhuran budaya bangsa yang dipegang teguh dan dilestarikan.

Bangsa yang besar dan bermartabat adalah bangsa yang mampu mengangkat harkat martabat rakyatnya dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan berbudaya, sehingga rakyatnya mampu menjadi manusia yang handal, berdaya saing, produktif dan berkarakter. Dengan demikian cita-cita para pendiri bangsa untuk menjadikan rakyatnya sejahtera, adil, bermartabat dan berbudaya dapat terwujud.

*)Penulis adalah Rektor Institut Informatika dan Bisnis (IBI) Darmajaya Lampung