Upaya Bebaskan TKI Dari Hukuman Mati

id Upaya Bebaskan TKI Dari Hukuman Mati, Dollar, Malaysia, Singapura, Tenaga Kerja, Disnaker, Depnaker

Kami terus melakukan evaluasi, perbaikan dan penanganan terus menerus."
Jakarta (Antara) - Permasalahan yang berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) memang seolah tak ada habisnya. Selalu saja ada TKI ilegal yang terancam dideportasi, atau kasus-kasus lain yang menjerat pekerja migran.

Hampir setiap tahun selalu saja pemberitaan mengenai TKI, biasanya TKI perempuan yang disebut tenaga kerja wanita (TKW), yang berhadapan dengan hukum bahkan diancam dengan hukuman mati.

Menurut data Kementerian Luar Negeri, setidaknya ada 430 warga negara Indonesia (WNI) atau TKI yang terancam hukuman mati pada periode 2011 hingga April 2014.

Rinciannya, 290 orang terancam hukuman mati di Malaysia, 87 orang di Arab Saudi, 42 orang di Republik Rakyat Tiongkok, tiga orang di Iran, lima orang di Singapura dan masing-masing seorang di Brunei Darussalam, Thailand dan Uni Emirat Arab.

Namun, pemerintah juga tidak tinggal diam. Sepanjang 2013-2014, Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri beserta pihak-pihak terkait telah berhasil menyelamatkan 182 orang dari 430 orang yang diancam hukuman mati.

Bila dilihat dari persentasenya, memang hanya ada 42, 33 persen saja yang berhasil diselamatkan. Namun, hal itu tetap pantas mendapat apresiasi.

Perwakilan Indonesia yang paling banyak membebaskan WNI/TKI dari ancaman hukuman mati adalah di Malaysia, yaitu 107 orang, disusul Arab Saudi (48), Tiongkok (23) dan masing-masing dua orang di Iran dan Singapura.
        
                                Terbanyak kasus narkoba
Banyak penyebab seorang WNI/TKI di luar negeri harus berhadapan dengan hukum dan diancam dengan hukuman mati. Kasus yang paling banyak menjerat WNI/TKI adalah kasus narkoba.

Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri, 58,87 persen dari kasus hukum yang menjerat WNI/TKI di luar negeri adalah kasus kepemilikan dan peredaran narkotika dan obat-obatan berbahaya.

Selain itu, kasus yang banyak terjadi adalah pembunuhan mencapai 33,06 persen, baru kemudian disusul kasus lainnya, yaitu zina (4,44 persen), dugaan terlibat sihir (2,82 persen), dan penculikan serta kepemilikan senjata api masing-masing 0,40 persen.

Kepala Subdirektorat I Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Rafail Walangit mengatakan, masih banyak masalah terkait WNI/TKI di luar negeri yang harus diselesaikan.

"Kami terus melakukan evaluasi, perbaikan dan penanganan terus menerus," kata Rafail.

Menurut Rafail, beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri seperti Arab Saudi dan Malaysia telah memperpanjang kontrak jara "retainer lawyer" untuk tahun anggaran 2014 serta membuat "assessment" kinerja "retainer lawyer" dari waktu ke waktu.

Unit Kerja Khusus secara intensif juga melakukan "updating" data, menyiapkan arahan kepada perwakilan Indonesia di luar negeri, mengomunikasikan perkembangan penanganan kasus kepada pihak keluarga dan memfasilitasi pertemuan pihak keluarga dengan WNI yang terancam hukuman mati.

Unit Kerja Khusus itu bila perlu juga mengajukan permohonan langsung keluarga pelaku kepada keluarga korban tindak pidana maupun kepada pemerintah negara terkait.

"Kami secara formal juga melakukan berbagai upaya diplomasi, termasuk diplomasi tingkat tinggi dalam rangka mengupayakan pembebasan atau keringanan bagi WNI yang terancam hukuman mati," tutur Rafail.

Upaya memohonkan pengampunan dan pemaafan terkait ancaman hukuman mati bagi WNI/TKI bahkan dilakukan sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana yang dia sampaikan ketika mengunjungi keluarga Satinah di Semarang, Maret lalu.

"Saya sendiri bukan hanya menulis surat. Tetapi sering juga berbicara melalui telpon dan melakukan pertemuan beberapa kali, tidak hanya Arab Saudi tetapi termasuk Malaysia dan negara lain," katanya.

Selain keluarga Satinah, Presiden juga beberapa kali mengunjungi keluarga TKW yang menjadi terpidana di luar negeri seperti keluarga Tuti Tursilawati (Majalengka), Siti Zaenab (Bangkalan) dan Karni (Brebes).
        
                                   Walfrida dari Belu
Salah satu TKW yang harus berhadapan dengan hukum dan diancam dengan hukuman mati adalah Walfrida Soik Mau (21) yang berasal dari Desa Faturika, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Walfrida yang bekerja di Kelantan, Malaysia itu divonis hukuman mati dengan tuduhan pembunuhan berencana terhadap orang tua majikannya di pengadilan tingkat pertama berdasarkan Pasal 302 Kanun Keseksaan.

Sepanjang 2013, Mahkamah Tinggi Kota Bahru, Kelantan, Malaysia telah melakukan lima kali sidang lanjutan atas kasus Walfrida.

Kelima sidang lanjutan berisi permohonan Tim Pengacara Pembela antara lain pemeriksaan ulang usia Walfrida yang ditengarai masih di bawah umur saat kejadian dan kejiwaan yang bersangkutan.

Pemeriksaan ulang usia Walfrida telah dilakukan pada 29 Oktober 2013 oleh tujuh tim ahli yang dipimpin Kepala Departemen Kesehatan Forensik Pulau Pinang Dato Zahari bin Noor. Hasilnya, usia Wilfrida saat kejadian pembunuhan pada 2010, belum mencapai 18 tahun.

Pemeriksaan kejiwaan Walfrida berlangsung sekitar satu bulan di Rumah Sakit Permai, Johor Bahru. Sementara pada Januari 2014, tim dokter Rumah Sakit Permai didampingi Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Kabupaten Belu melakukan pemeriksaan psikologis terhadap keluarga, kerabat serta tetangga Walfrida.

Pada 7 April 2014, Mahkamah Tingkat Tinggi Kota Bahru kembali bersidang. Hakim menyampaikan pertimbangan bahwa Tim Pengacara Pembela dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur telah berhasil membuktikan usia Walfrida belum genap 18 tahun.

Menurut Undang-Undang Pidana di Malaysia Walfrida  tidak bisa dijatuhi hukuman mati dan harus disidangkan berdasarkan Undang-Undang Anak.
    
                                 Satinah dari Semarang
Kasus yang melibatkan TKW lain yang juga menyita perhatian publik tanah air adalah Satinah asal Semarang yang mengadu nasib ke Arab Saudi. Satinah dituduh telah membunuh majikan perempuannya pada Juni 2009.

Tak hanya itu, Satinah juga dituding mencuri uang 37.970 Riyal Arab Saudi sebelum meminta perlindungan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Saat diperiksa polisi setempat, Satinah mengakui perbuatannya sehingga dipenjara di Kota Buraidah, Provinsi Al Gaseem mulai 27 Juni 2009. Sejak itu, Satinah harus keluar masuk persidangan dengan beragam putusan. Dia terancam hukuman pancung.

Pemerintah juga berupaya supaya Satinah bebas dari hukuman, atau setidaknya hukumannya diringankan. Pemerintah membentuk tim Satuan Tugas Penanganan Kasus Hukuman Mati untuk melakukan diplomasi ke Arab Saudi.

Kasus Satinah ini cukup rumit dan menguras tenaga meskipun akhirnya dia bisa bebas dari ancaman hukuman pancung setelah pemerintah Indonesia bersedia membayar "diyat" sebesar 7 juta riyal atau Rp21,1 miliar.