Hari Kartini Di Antara Kekerasan Perempuan Anak

id Hari Kartini Di Antara Kekerasan Perempuan Anak, Wanita, Ibu Rumahtangga, Balita, Siswa, Sekolah, Pelajar,

Kalau sekolah saja sudah tidak aman lalu tempat mana lagi yang aman bagi anak?."
Jakarta (Antara) - Hari Kartini, yang selalu diperingati oleh segenap bangsa sebagai simbol kebangkitan perempuan di Tanah Air setiap tanggal 21 April tentunya bisa dijadikan momentum bagi para srikandi Indonesia untuk bersatu melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa salah satu perlakuan diskriminasi terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan baik yang terjadi di wilayah domestik, maupun publik.

Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, perdagangan orang, eksploitasi seksual komersial, kekerasan di tempat kerja, kekerasan dalam situasi bencana, dan kekerasan dalam konflik sosial.

Berbicara tentang kasus kekerasan seksual, merupakan salah satu kasus kekerasan yang banyak dialami oleh perempuan dan anak-anak.

Bahkan dalam perkembangannya kasus kekerasan seksual bukan hanya banyak dialami oleh perempuan dan anak perempuan, namun Juga anak laki-laki.

Kasus terbaru adalah kekerasan seksual yang dialami seorang murid TK berinisial AK (6) siswa TK di Jakarta International School (JIS).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan keprihatinannya terhadap kasus kekerasan seksual di JIS.

"Saya mengutuk keras kejadian tersebut, sangat tidak bisa ditoleransi dan meminta aparat penegak hukum untuk membongkar setuntas-tuntasnya kasus ini supaya ada efek jera," katanya.

Linda juga berharap korban dan juga keluarga bisa dibantu dalam proses pemulihan traumanya yang sangat berat.

Linda mengatakan keluarga, lingkungan dan sekolah harus mampu menjamin anak dapat terlindungi dalam proses tumbuh kembang mereka.

"Sekolah harus memberikan perlindungan yg aman dan nyaman bagi anak sesuai pasal 54 UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, yang menyatakan anak di dalam lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-teman di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya," katanya.

Menteri juga berharap agar orang tua, lembaga pendidikan dan masyarakat lebih waspada dan lebih berhati-hati terhadap lingkungan anak-anak.

"Kita harus membangun sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat maupun aparat penegak hukum agar kasus serupa tidak terulang kembali," katanya.

Masyarakat, tambah dia, harus bersinergi mengeliminasi tindak kekerasan. Dengan adanya sinergitas antara seluruh masyarakat dengan pemangku kepentingan diharapkan bisa menjadi kekuatan baru dalam perang melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

"Selain itu, khusus kepada para orang tua, harus lebih waspada lagi dan mengenal sifat-sifat dan karakter anak sehari-hari sehingga kalau ada kasus-kasus dapat diketahui sejak dini," katanya.

Linda berharap dengan peringatan Hari Kartini tanggal 21 April tahun 2014 ini bisa menjadi momentum baru, untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum perempuan dan mereka yang memiliki anak untuk bersama berperang melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
    
                           Evaluasi Sekolah
Sementara itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi di seluruh sekolah menyusul kasus kekerasan seksual di JIS.

"Harus ada evaluasi menyeluruh, sekolah harus memiliki standar perlindungan yang jelas terhadap anak didik," katanya.

Arist menjelaskan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman dan aman karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di sana.

"Kalau sekolah saja sudah tidak aman lalu tempat mana lagi yang aman bagi anak?," katanya.

Dia mengatakan evaluasi harus dilakukan segera agar dunia pendidikan tidak semakin tercoreng dan para orang tua tidak khawatir menitipkan anaknya di sekolah.

"Jangan sampai dunia pendidikan kita makin tercoreng karena perlindungan terhadap anak diabaikan," katanya.

Sekolah, guru dan seluruh yang ada di dalamnya harus menjadi pengganti orang tua saat anak berada sekolah untuk menuntut ilmu.

"Semua mempunya tanggung jawab melindungi anak-anak karena selama berada di sekolah menjadi pengganti orang tua, sehingga jika terjadi kekerasan di sekolah harus menjadi yang pertama tahu," katanya.

Pemerintah, kata Aris, juga harus mengevaluasi sekolah-sekolah yang beroperasi padahal belum mengantongi izin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak boleh berdiam diri, pemerintah harus segera melakukan evaluasi terutama soal perizinan," katanya.