'Hantu' Pendidikan itu Bernama Ujian Nasional

id Hantu, Saksikan, Pendidikan itu Bernama Ujian Nasional, UN, SMA, SMK, SMU, SMK, Tinjau, Kunjungi, Sidak, Ujian negara, Gubernur, Pendidikan, Diknas

 'Hantu' Pendidikan itu Bernama Ujian Nasional

Sisa SMK Negeri 4 Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung mengerjaklan soal Ujian Nasional (UN). Gubernur Lampung Sjachroedin ZP didampingi pejabat daerah terkait memantau langsung pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2014 di tiga sekolah di Kota Bandarlampu

UN selama ini selalu menjadi tolok ukur dunia pendidikan di Indonesia. Kelulusan siswa ditentukan oleh UN. Kualitas sekolah dan daerah ditentukan oleh persentase siswa yang lulus."
Jakarta (Antara) - Ujian nasional (UN) SMA telah berakhir. Rutinitas tahunan dunia pendidikan itu telah berjalan dengan segala kesuksesan dan permasalahannya.

Setiap tahun sekolah dan siswanya harus menghadapi "hantu" yang disebut sebagai UN, UAN, atau apa pun sebutannya tetapi sama hakikatnya.

UN memang seolah menjadi "hantu" bagi para pelaku dunia pendidikan. Mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, pemilik sekolah, pimpinan yayasan pendidikan, kepala dinas bahkan kepala daerah sekalipun.

UN selama ini selalu menjadi tolok ukur dunia pendidikan di Indonesia. Kelulusan siswa ditentukan oleh UN. Kualitas sekolah dan daerah ditentukan oleh persentase siswa yang lulus.

Karena itu, tidak mengheran bila sekolah, terutama sekolah swasta meskipun tidak semuanya, berupaya untuk meluluskan seluruh siswanya. Bahkan demi citra daerah, pemerintah daerah pun ikut berupaya siswa persentase ketidaklulusan sekecil mungkin.

Pada akhirnya, segala cara pun dilakukan untuk meraih kelulusan. Alih-alih belajar, siswa justru berusaha mencari bocoran soal, atau bila perlu kunci jawaban. Sekolah pun membentuk "tim sukses" untuk membantu siswanya lulus, bukan dengan tambahan pelajaran, tetapi dengan memberikan kunci jawaban.

Fenomena itu bukanlah isapan jempol belaka. Hal itu seolah sudah menjadi rahasia umum karena jamak dilakukan hampir setiap tahun dalam pelaksanaan UN. Temuan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bisa menjadi salah satu bukti.

Dalam tiga tahun terakhir, FSGI membuka posko pengaduan pelaksanaan UN. Tahun ini, FSGI mendapat laporan adanya dugaan sindikat jual beli kunci jawaban, bahkan sebelum UN dilaksanakan.

"Kami menerima 11 laporan dugaan sindikat jual beli kunci jawaban yang terjadi di empat kota, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. Sindikat ini diduga melibatkan alumnus sekolah bersangkutan dan oknum bimbingan belajar," kata Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti.

Dalam melakukan jual beli kunci jawaban, sindikat tersebut menggunakan sistem koordinator bertingkat, mulai dari koordinator kelas, koordinator jurusan, koordinator sekolah, koordinator wilayah dan koordinator pusat.

"Pihak sekolah tidak mengetahui praktik jual beli kunci jawaban ini. Sindikat ini bisa menyediakan kunci jawaban UN untuk enam mata pelajaran dan 20 paket soal," ujarnya.

Retno mengatakan sindikat tersebut diduga telah beroperasi sejak lima tahun lalu di keempat kota tersebut. Kebenaran kunci jawaban mereka sudah terbukti sehingga banyak yang percaya.

"Pembayaran dilakukan secara tunai dan langsung. Harganya beragam. Siswa patungan di sekolah mulai dari Rp50.000 hingga Rp200.000. Kalau patungannya masih dinilai mahal, maka bisa patungan dengan siswa dari sekolah lain," jelasnya.

Yang mengejutkan, sindikat tersebut juga menjual kunci jawaban bergantung permintaan pembeli. Apabila hanya ingin sekedar lulus, maka kunci jawaban yang dijual memiliki kebenaran hingga 60 persen.

"Tetapi juga ada tawaran jawaban betul hingga 80 persen, 90 persen dan 100 persen karena UN juga menjadi salah satu penentu dalam penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Semakin banyak jawaban betul, maka harganya semakin mahal," tuturnya.

Retno mengatakan kunci jawaban itu mulai ditawarkan saat pelaksanaan "try out" UN di sekolah pada Maret 2014. Soal "try out" berasal dari dinas pendidikan setempat. Karena kunci jawaban "try out" valid, maka meningkatkan kepercayaan siswa ketika sindikat tersebut menawarkan kunci jawaban UN.

Info penawaran kunci jawaban berlangsung dari mulut ke mulut di antara siswa tanpa diketahui siapa yang lebih dulu menerima informasi tersebut. Sindikat tersebut juga bekerja sangat rapi karena nomor ponsel yang digunakan untuk menawarkan kunci jawaban selalu berganti.

Pada hari pertama pelaksanaan UN SMA, Senin (14/4) FSGI juga menerima laporan adanya kecurangan bermodus penggunaan telepon seluler yang terjadi di Jakarta, Garut dan Indramayu.

Menurut Retno ada siswa yang kedapatan membuka telepon seluler saat mengikuti UN. Namun, belum sempat mencontek siswa tersebut sudah ditangkap pengawas UN.

"Setelah ponselnya diperiksa ternyata ada kunci jawaban untuk 20 paket soal bahasa Indonesia yang sedang diujikan saat itu. Laporan ini tidak dimasukkan dalam berita acara karena siswa dianggap sebagai korban," tuturnya.

Selain dugaan sindikat jual beli kunci jawaban, FSGI juga menerima adanya laporan "tim sukses" yang dilakukan sekolah untuk membantu kelulusan siswanya dengan memberikan kunci jawaban.

"Jadi siswa diminta datang pukul 05.00 WIB untuk menerima kunci jawaban UN. Ini terjadi di tiga sekolah swasta di Medan yang tidak termasuk kategori sekolah 'kaya',"
                            Berhala Pendidikan
Retno mengatakan UN telah menjadi berhala karena menjadi tolok ukur berbagai hal dunia pendidikan di Indonesia.

"UN telah menjadi multiparameter karena digunakan untuk pemetaan, kelulusan siswa, syarat masuk perguruan tinggi negeri dan menentukan kualitas sekolah," katanya.

Retno mengatakan FSGI bukan menolak pelaksanaan UN sepenuhnya. Apabila UN hanya menjadi tolok ukur pemetaan kualitas pendidikan di Indonesia, maka FSGI setuju dengan pelaksanaan UN.

Namun, apabila UN menjadi tolok ukur berbagai macam hal terkait pendidikan, maka FSGI menolak pelaksanaannya.

"Banyak kecurangan terjadi dalam pelaksanaan UN. FSGI menerima banyak laporan yang bisa diteruskan ranah hukum. Banyak bukti kalau mau diungkap. Namun, FSGI tidak mau siswa menjadi korban," tuturnya.

Menurut Retno FSGI memiliki banyak bukti ketidakberesan pelaksanaan UN. Selama tiga tahun membuka posko pengaduan, FSGI menerima permasalahan yang hampir sama, yaitu jual beli kunci jawaban dan tim sukses di sekolah untuk meluluskan seluruh siswa.

"Kami bisa mengungkap bukti-bukti dan sekolah mana yang melakukan kecurangan. Namun, kami perlu jaminan siswa tidak akan dikorbankan dengan kelulusannya dibatalkan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mau menjamin," katanya.

Retno mengatakan dalam hal ini siswa menjadi korban dari sistem yang ada. Karena itu penyebabnya yang harus dibenahi tanpa mengorbankan siswa.

Retno mengatakan UN cukup menjadi tolok ukur pemetaan kualitas pendidikan di Indonesia, sementara kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah. Menurut dia, apabila UN hanya menjadi tolok ukur pemetaan, sekolah tidak perlu khawatir dan melakukan berbagai kecurangan supaya siswanya lulus 100 persen.

"Justru dengan UN sebagai tolok ukur pemetaan, sekolah bisa dibantu apabila ditemukan kelemahannya. Misalnya, sekolah tertentu lemah di pelajaran bahasa karena tidak ada laboratorium. Maka pemerintah bisa membantu pengadaan laboratorium," tuturnya.
      
                       Legalitas UN
Sementara itu, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan pemerintah telah melanggar hukum dengan melaksanakan UN, padahal lembaga peradilan telah melarang.

"Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung telah melarang pemerintah melaksanakan UN," katanya.

Nelson mengatakan putusan peradilan melarang pelaksanaan UN sebelum pemerintah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.

Larangan tersebut, kata Nelson, diputuskan MA pada 2009, sehingga pelaksanaan UN sejak 2010 seharusnya dinyatakan melawan hukum.

Larangan itu muncul setelah MA menyatakan menolak kasasi yang diajukan pemerintah dalam kasus melawan gugatan warga negara yang diajukan Tim Advokasi Korban UN sejak 2007.

"Pemerintah telah membangkang putusan peradilan. Itu menunjukkan pemerintah tidak taat hukum. Padahal banyak manipulasi terjadi dalam pelaksanaan UN sehingga hasilnya hanya sebuah fatamorgana," tutur Nelson.

Namun, Nelson mengatakan di Indonesia hukum hanyalah sebuah pranata yang tidak bisa menjawab semua permasalahan. Gugatan terhadap keabsahan UN bisa jadi akan membatalkan hasil UN sehingga siswa juga dibatalkan kelulusannya.

"Pada akhirnya kita hanya bisa berharap pada pemerintah. Kalau pemerintah yang menjadi pelanggar hukum, tergantung kemauan pemerintah apakah masih ingin melihat kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia terus melorot," katanya.

Nelson mengatakan permasalahan yang muncul dalam UN, seperti dugaan sindikat jual beli kunci jawaban, bisa diajukan ke pengadilan dengan pasal pidana.

"Bisa dikenakan pasal pencurian kalau pelaku mencuri soal kemudian menjual kunci jawaban. Bisa juga penyalahgunaan kekuasaan apabila yang terlibat adalah pihak yang berwenang terhadap soal UN," tuturnya.

Namun, Nelson mengatakan karena tidak ada jaminan bahwa pelaporan kasus itu tidak akan mengorbankan siswa, maka bukti-bukti yang didapat pun bagaikan buah simalakama.

"Kalau dilaporkan, siswa bisa dibatalkan kelulusannya sehingga akan menjadi korban. Tidak melapor, berarti membiarkan manipulasi dan pelanggaran hukum terus terjadi," ucapnya.
   
                    Tak Bisa Dipertanggungjawabkan
Di sisi lain, pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan evaluasi belajar melalui UN tidak bisa dipertanggungjawabkan karena multiparameter.

"Evaluasi seharusnya fokus pada satu tujuan, sedangkan UN menjadi tolok ukur beberapa hal yaitu pemetaan, kelulusan siswa, syarat masuk perguruan tinggi negeri dan kualitas sekolah," katanya.

Direktur Education Consulting itu mengatakan negara-negara maju mempunyai banyak kriteria yang ketat untuk menentukan validitas sebuah ujian. UN, kata dia, hanya memenuhi sedikit kriteria tersebut.

Selain evaluasi, kriteria lain untuk menentukan validitas sebuah ujian adalah desain awal. Menurut Doni, desain awal itu bukan sekedar pembuatan soal, tetapi juga meliputi proses pembuatannya.

"Ada aspek validitas, reliabilitas dan kompetensi pembuat soal. Selama ini, pemerintah tidak transparan dalam proses pembuatan soal sehingga kompetensi pembuat soal pun dipertanyakan," tuturnya.

Doni mengatakan pemerintah juga tidak transparan dengan evaluasi terhadap soal-soal yang diujikan setiap tahun. Seharusnya, pemerintah mempunyai acuan dalam membandingkan soal UN yang diujikan setiap tahun.

Selain itu, pemerintah juga selama ini tidak pernah mengevaluasi apakah kisi-kisi soal yang diujikan sudah sesuai dengan materi yang diajarkan di sekolah atau tidak.

"Pemerintah bertanggung jawab memastikan guru dan sekolah mengajar sesuai dengan kisi-kisi tersebut," ujarnya.

Kriteria lain untuk menentukan validitas UN adalah eksekusi atau pelaksanaan. Aspek keamanan di sini sangat menentukan, yaitu apakah ada kebocoran soal atau tidak.

"Kalau soal bocor, maka hasilnya menjadi bias dan sia-sia. Ujian tidak bisa digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur karena soal bocor," katanya.

Melihat permasalahan yang ada terhadap UN, sudah selayaknya pelaksanaannya ditinjau ulang. Tahun ini, yang merupakan tahun terakhir kekuasaan rezim saat ini, pelaksanaan UN kembali tak bisa dicegah.

Maka, kini masyarakat hanya bisa berharap semoga rezim berikutnya menggunakan alternatif evaluasi belajar dan tolok ukur kelulusan yang lebih baik daripada "hantu" yang bernama UN.