LBH: Pedagang Pasar SMEP Berhak Menuntut

id LBH: Pedagang Pasar SMEP Berhak Menuntut

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung menyatakan para pedagang Pasar SMEP di kota ini berhak menuntut pihak perusahaan yang hingga kini belum menyelesaikan pembangunan dan renovasi pasar ini, padahal mereka sudah membayar uang muka.

Sejumlah pedagang di Pasar SMEP Bandarlampung, Kamis (17/4), menyatakan khawatir dengan kantor pemasaran milik investor/pengembang PT Prabu Artha di Jalan Imam Bonjol No. 88, Bandarlampung sepekan belakangan ini.

Padahal hingga kini pembangunan Pasar SMEP belum juga dilanjutkan.

Menurut Dwi Putri Melati SH MH, Staf Divisi Ekonimo, Sosial dan Budaya (Ekosob) LBH Bandarlampung, membenarkan para pedagang itu mencemaskan informasi yang beredar bahwa Ferry Sulistyo alias Alay selaku Pimpinan PT Prabu Artha tidak bisa dihubungi, dan telepon genggamnya dalam keadaan tidak aktif.

Akibatnya, para pedagang resah atas ketidakjelasan kelanjutan renovasi Pasar SMEP tersebut, karena mereka telah membayar uang muka sebesar 30 persen atau mencapai sekitar Rp80 juta per toko.

Namun kenyataannya pembangunan Pasar SMEP belum juga dilanjutkan.

Pembangunan yang direncanakan akan dilanjutkan pada 15 Januari 2014, kemudian diundur menjadi 8 Maret 2014, namun belum menunjukkan tanda-tanda aktivitas pembangunan apa pun di lokasinya.

"Wajar saja jika para pedagang mendesak Alay untuk segera melanjutkan pembangunan pasar ini, mengingat terdapat ratusan pedagang yang menggantungkan diri," ujar Dwi Putri lagi.

Akibat macet pembangunan Pasar SMEP tersebut, mayoritas pedagang mengalami penurunan omzet secara signifikan.

Dampak dari pembangunan tersebut juga adanya genangan air yang cukup luas, ldan ubang besar bekas galian awal yang dilakukan pengembang mengakibatkan bau busuk yang berasal dari air kolam itu yang sangat mengganggu.

Kondisi tempat pembuangan sampah (TPS) juga perlu mendapatkan perhatian, mengingat kayu-kayu penyangga semakin lama kian rapuh.

Para pedagang merasa tidak nyaman dengan kondisi ini.

"Hal itu sangat memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan, merugikan para pedagang dan merusak keindahan," kata Dwi putri pula.

Dia mengingatkan, hal tersebut berarti telah melanggar hak masyarakat untuk hidup dan mencari pemasukan ekonomi dengan nyaman serta lebih jauh akan merusak kelestarian lingkungan di wilayah tersebut.

Ia menyatakan, apabila PT Prabu Artha masih tidak melanjutkan kembali pembangunan Pasar SMEP tersebut, maka dapat diduga PT Prabu Artha yang dipimpin Ferry Sulistyo alias Alay diduga melanggar hukum pidana dan perdata.

Pedagang sudah membayar uang muka sebesar 30 persen atau kurang lebih sebesar Rp80 juta per toko yang telah dibayarkan kepada PT Prabu Artha yang dipimpin Ferry Sulistyo alias Alay.

Namun kenyatannya proses pembangunan Pasar SMEP mandek sampai saat ini.

Dwi Putri mengingatkan, secara perdata PT Prabu Artha yang dipimpin Ferry Sulistyo alias Alay telah melakukan wanprestasi terhadap pembangunan Pasar SMEP tersebut, dengan tidak melanjutkan pembangunannya.

Menurut dia, secara pidana, PT Prabu Artha yang dipimpin Ferry Sulistyo alias Alay melanggar pasal 378 KUHP tentang penipuan dan pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

Para pedagang menurut Dwi Putri, dapat menempuh upaya hukum perdata maupun pidana untuk mendapatkan hak mereka.

Karenanya dia berharap para pedagang itu tidak perlu merasa akan kehilangan haknya.

Selain itu, menurut LBH Bandarlampung, PT Prabu Artha juga telah melanggar Kovenan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya) dengan membiarkan para pedagang kehilangan haknya untuk mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, seperti dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Hal tersebut harus segera diselesaikan para pedagang agar dapat berdagang dengan nyaman dan kondusif.

LBH Bandarlampung mendesak Pemerintah Kota Bandar Lampung harus segera mengambil tindakan mengatasi mandek pembangunan Pasar SMEP tersebut, jangan sampai masalah ini menjadi berlarut-larut, karena banyak pedagang yang akan menjadi korban.