Politik Uang Ampuhkah?

id Politik Uang Ampuhkan?, Money Politics, Rupiah, Pemilu, Pemilihan Umum, Pileg, Kotak Suara, DPR, DPRD, DPD, Capres, Presuiden

Politik Uang Ampuhkah?

Uang Rupiah baru. (ANTARA FOTO Dok/Zabur Karuru).

Publik saat ini semakin paham bahwa kandidat yang melakukan politik uang sangat berpotensi melakukan korupsi. "Maka, kita saat ini sangat mafhum mendengar anekdot warga: Terima uangnya, jangan pilih orangnya."
Depok (Antara) - Para peserta kampanye terbuka berdesakan di depan panggung di sebuah lapangan di Sumatera Utara sambil mengulurkan tangan mereka, ketika seorang calon anggota legislatif, tokoh sebuah parpol, beserta beberapa pendukungnya bernyanyi dan berjoget sambil membagi-bagikan uang.

Praktik politik uang dalam pemilu, meskipun hal itu adalah pelanggaran,  sudah bukan rahasia lagi. Sebuah hasil survei bahkan menunjukkan, mayoritas publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para calon anggota legislatif (caleg) atau partai politik menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional, Umar S. Bakry, sebanyak 69,1 persen publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau partai politik (parpol) dalam Pemilu 2014, dengan alasan berbeda-beda. Padahal pada Pemilu 2009, survei LSN mengenai politik uang menunjukkan masih kurang dari 40 persen publik yang bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol.

Besarnya persentase responden yang bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol merupakan indikator nyata bahwa potensi politik uang dalam Pemilu 2014 sangat tinggi. Sikap mayoritas publik merupakan potensi bagi mudahnya terjadi politik uang sebagai instrumen untuk mendulang suara.

Memang, sebanyak 41,5 persen responden menyatakan, meskipun bersedia menerima uang, tapi tidak akan mempengaruhi pilihannya. "Namun dengan sikap seperti ini, sama saja mereka sudah membuka pintu lebar-lebarbagi berkembangnya politik uang," katanya.

Dia berpendapat, sikap permisif masyarakat terhadap politik uang merupakan produk dari politik transaksional yang marak dilakukan oleh para caleg dan calon kepala daerah sejak berlakunya era pemilihan langsung. Dengan meraih 5 atau 10 ribu suara saja caleg sudah bisa mendapat kursi DPRD, karenanya mereka memilih jalan pintas politik uang.

Di Jawa Barat, Badan Pengawas Pemilu menemukan 22 kasus dugaan pelanggaran politik uang yang dilakukan dalam rentang waktu 16 Maret hingga 27 Maret 2014. Ketua Bawaslu Jabar, Harminus Koto menyebutkan, kasus dugaan politik uang itu terjadi di 13 kabupaten/kota di Jabar.

Kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten Ciamis (tujuh kasus), disusul Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota Bekasi dengan masing masing dua kasus. Sisanya terjadi di Kabupaten Karawang, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cirebon.

Partai Amanat Nasional menjadi yang paling banyak terjerat pelanggaran ini dengan lima kasus. Diikuti Golkar dan PDIP dengan empat kasus, Nasdem tiga kasus, dan Gerindra dua kasus. sisanya yakni PKS, Demokrat, Hanura, dan PBB dengan masing-masing satu kasus. Semua kasus dugaan politik uang itu masih di proses di Bawaslu kabupaten/kota.

Setiap kasus memiliki batas kadaluwarsa tujuh hari sejak dilaporkan, katanya. Waktu tersebut digunakan untuk penulusuran, kemudian dikaji di tingkat Gakumdu. Jika memenuhi unsur pelanggaran, maka akan diteruskan ke kepolisian dengan jatah waktu maksimal 14 hari. Pelaku akan dijerat dengan UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu.

Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Malang, menemukan praktek politik uang dalam kampanye terbuka Partai Demokrat (PD) oleh seorang caleg nomor urut 1 daerah pemilihan Kecamatan Kepanjen, Pagelaran, Bululawang, dan Kecamatan Gondanglegi.

Menurut George Da Silva dari Divisi Penangangan dan Penindakan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Kabupaten Malang, praktik politik uang tersebut berupa bagi-bagi uang Rp20.000 kepada para simpatisan di lokasi kampanye terbuka.

Panwaslu mengamankan barang bukti berupa dua lembar uang pecahan Rp10.000, satu kaus, dan satu stiker bergambar caleg.  "Dengan bukti yang kami miliki itu kampanye Partai Demokrat jelas melanggar Pasal 86 ayat (1) huruf (j) tentang menjanjikan atau memberi uang atau materi lain ke peserta lain dengan ancaman hukuman dua tahun dengan denda Rp24 juta," ujarnya.

Padahal awal Meret, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf meminta semua pihak mengawasi praktek politik uang pada Pemilu 2014 dan berharap publik ikut mengawasi jika ada calon legislator Demokrat yang terlibat dalam politik uang.

"Panwaslu mengawasi dan bisa memberi sanksi didiskualifikasi," katanya sambil menambahkan bahwa politik uang bukan sesuatu yang muncul begitu saja, karena sudah ada pada pilkada dan pemilihan kepala desa yang diselenggarakan secara langsung.

Nurhayati juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi ikut melakukan pencegahan atas politik uang. Seharusnya wakil rakyat yang terpilih adalah mereka yang benar-benar mengabdi untuk masyarakat, bukan karena politik uang dan memiliki kemampuan finansial saja.
    
                              Tidak ampuh?
Politik uang mengarah pada  adanya peningkatan transaksi mencurigakan menjelang tahapan kampanye pemilu legislatif. Menurut Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, berdasarkan riset menjelang pemilu peningkatannya 125 persen. "Tetapi untuk bulan ini (Maret) kita masih melihat peningkatannya itu 40 persen," katanya.

Transaksi mencurigakan itu terlihat dari profil dan pola transaksi yang terjadi. "Kategori mencurigakan itu yang di luar profil dan di luar pola transaksi," katanya. ¿Dari sejumlah transaksi mencurigakan itu, terdapat setoran calon anggota legislatif dalam jumlah besar kepada pengurus partai. Ada juga dana pengusaha ke pengurus partai.¿

Terkait dengan politik uang yang gencar terjadi menjelang Pemilu 2014 ini, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berujar, "boleh saja terima uang asal coblos sesuai pilihan hati."

Menurut dia, partainya tak akan memaksa masyarakat untuk memilih partai berlambang kepala garuda itu dalam pemilihan nanti. "Kami mau terapkan salah satu slogan Pemilu 2014, yaitu bersih dan jujur. Jadi kami tidak paksakan pilihan kepada publik, termasuk kepada kader kami," ujarnya.

Prabowo juga berharap seluruh kader tak menjual suaranya dalam pemilu nanti. "Soalnya,  republik ini bisa dibeli. Hampir semua aktivitas dan pekerjaan di Indonesia bisa dibeli," katanya.

Dia justru memastikan bakal mengusir kader partainya yang melakukan korupsi. "Seandainya ada kader Gerindra yang berwatak maling, silakan hengkang! "Kami tidak mau menerima kaum koruptor, karena kami berkeinginan menghilangkan semua koruptor dari Republik ini," katanya menegaskan.

Di tengah maraknya politik uang muncul pertanyaan apakah praktek yang dilakukan para kandidat itu sejalan dengan hasil pemilihan umum? Menurut, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik, Donal Fariz jawabannya: tidak, karena dari hasil survei, ternyata hanya 18,1 persen masyarakat yang terpengaruh dengan uang yang diberikan para caleg.

Sementara 42,8 persen akan memilih sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, katanya, angka yang cukup mencengangkan, sebanyak 21,1 persen pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang.

Di luar survei tersebut, realitas yang ditemukan oleh ICW dalam pemantauan Pemilu 2009 dan beberapa pilkada juga menunjukkan fenomena identik bahwa politik uang tidak sejalan  dengan hasil pemilihan. Petahanan yang melipatgandakan alokasi bantuan sosial dalam pemilu tidak serta-merta berhasil menang, baik dalam pemilu maupun pilkada.

Publik saat ini semakin paham bahwa kandidat yang melakukan politik uang sangat berpotensi melakukan korupsi. "Maka, kita saat ini sangat mafhum mendengar anekdot warga: Terima uangnya, jangan pilih orangnya," katanya.

Seperti kata Donal, setidaknya ada dua pelajaran penting yang harus dipahami para kandidat dalam pemilu mendatang. Pertama, masyarakat sudah semakin "melek politik". Walaupun diberi uang atau sogokan dalam berbagai bentuk, masyarakat relatif tetap memilih kandidat sesuai dengan keinginannya. Uang hanya memengaruhi sebagian kecil kelompok saja

Kedua, uang suap kandidat sering kali "menguap". Yang kenyang justru sering kali tim sukses atau lembaga survei. Saat ini tidak ada lagi jaminan bahwa yang memberi uang akan  dipilih oleh rakyat.