Perempuan Di Parlemen Masih Jauh dari Kuota

id Perempuan Di Parlemen Masih Jauh dari Kuota, Caleg, Pileg, Waita, Pemilu, Pemiluihan Umum, Kotak Suara, nak, balita, Susu, DPR, DPRD, DPR I, DPD

Perempuan Di Parlemen Masih Jauh dari Kuota

Herni sedang membuat kue. (Foto: ANTARA LAMPUNG Dok/Kristian Ali).

Pemilu sukses itu bukan hanya prosedural, tapi juga menghasilkan caleg-caleg berkualitas yang memiliki paradigma kesetaraaan gender."
Depok (Antara) - Keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen harus dipenuhi oleh setiap partai politik atau parpol dan diatur oleh tiga undang undang.

Undang undang tersebut yakni UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu; UU Nomor 8 tahun 2008 tentang Parpol dan UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu, namun pemenuhan kuota ini tampaknya tetap sulit.

Berdasarkan hasil Penelitian Pembangunan Manusia Berbasis Gender oleh Badan Pusat Statistik, partisipasi wanita dalam politik hanya 18 persen dibandingkan  pria yang mencapai 82 persen. Sementara itu, perempuan yang meraih posisi Eselon I di birokrasi kurang dari 10 persen.

Menurut Sekretaris Eksekutif Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian PP dan PA Mudjiati, ketidaksetaraan dalam bidang politik tidak hanya disebabkan oleh rendahnya partisipasi perempuan yang dibandingkan dengan prestasi pendidikan, tetapi juga dipicu oleh budaya patriarki yang masih dominan.

Dia menambahkan, banyaknya sudut pandang di masyarakat antara perempuan dan laki-laki,  menyebabkan anggota DPR sulit membuat kebijakan yang adil dan setara untuk semua gender.

"Bahkan beberapa pembuat kebijakan tidak sepenuhnya mengerti esensi dari gender itu sendiri. Kalau tidak mengerti dasarnya, bagaimana mungkin mereka bisa menyusun kebijakan.

Terkait belum terpenuhinya kuota perempuan di parlemen, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) Linda Amalia Sari Gumelar menilai hal itu karena partai politik tidak serius melakukan pembinaan dan kaderisasi calon anggota legislatif (caleg) perempuan. "Kita ingin mendorong  perempuan lebih banyak terjun ke politik. Seharusnya parpol melakukan kaderisasi khususnya perempuan. Masa lima tahun begini-begini saja," katanya.

Linda menilai, keterlibatan perempuan di parlemen baik DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kab/kota sangat penting karena tiga alas an yaitu keterlibatan perempuan 30 persen di parlemen merupakan amanat UU No 8 tahun 2012. Kuota ini bukan sekadar simbolik, tapi substansial soal kapabilitas dan kualitas caleg perempuan.

"Pemilu sukses itu bukan hanya prosedural, tapi juga menghasilkan caleg-caleg berkualitas yang memiliki paradigma kesetaraaan gender," katanya sambil menambahkan bahwa rekrutmen caleg perempuan oleh parpol masih sebatas memenuhi syarat kuota 30 persen ataupun jika caleg tersebut berlatar belakang artis, hanya untuk mendongkrak suara.

Dengan demikian keberadaan perempuan di parlemen belum berdampak signifikan. Masyarakat masih memandang kualitas perempuan di bawah laki-laki. "Padahal sebenarnya tidak begitu. Tidak semua anggota parlemen perempuan seperti itu. Banyak yang berkualitas dan cerdas. Jadi kembali kepada parpol dalam merekrut caleg perempuan," ujar Linda.

Dia juga mengaku telah melakukan komunikasi dengan sejumlah parpol sebelum perumusan daftar caleg sementara (DCS) terkait perekrutan perempuan sebagai caleg untuk memenuhi kuota 30 persen.

Data yang dimiliki Kementerian PP-PA menunjukkan, meski telah diberikan kuota 30 persen sesuai UU, berdasarkan hasil pemilu 2009 jumlah perempuan masuk ke DPR sebesar 18 persen, MPR 20 persen, DPD 27 persen, DPRD Provinsi 16 persen, dan DPRD kab/kota 12 persen.      

Ketua Fraksi PDIP DPR RI Puan Maharani mengakui kesulitan untuk pemenuhan kuota 30 persen perempuan di parlemen itu, namun PDIP siap memenuhinya. "Tidak mudah. Tapi kami siap. Meski sulit, PDIP tidak akan merekrut kader lain. PDIP percaya pada kader perempuannya yang punya kapasitas, dengan cara melakukan pendidikan politik tanpa membedakan jenis kelamin," ujarnya.

Sementara itu Partai Golkar menyatakan, tidak kesulitan untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan di parlemen. "Secara nasional tidak ada masalah. Namun per dapil saya akan cek dulu,¿  kata Wakil Sekjen Partai Golkar Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Kalimantan Chairun Nisa.

Di Golkar, kata Nisa, ada pengkaderan buat perempuan. Bahkan, Golkar memiliki sayap khusus perempuan yakni Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) yang diketuai oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Terkait soal kualitas calon anggota legislatif perempuan yang sering dipertanyakan, anggota Komisi II ini mengaku heran. "Kenapa kalau perempuan dipertanyakan kualitasnya, tapi kalau laki-laki tidak?" tanyanya.
                          Dorongan parpol
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, Hadawiah berpendapat, partai politik perlu mendorong partisipasi politik perempuan khususnya di Sulawesi Selatan, karena partisipasi politik perempuan di daerah yang masih sangat kurang ini menyumbang akumulasi partisipasi politik perempuan secara nasional yang juga masih rendah.

Kementerian PP dan PA melansir bahwa meskipun jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009, namun masih jauh dari yang dicita-citakan, yakni 30 persen menurut UU no. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Mencermati fenomena itu, Hadawiah menegaskan, Parpol yang memiliki kewajiban utama untuk mendorong perempuan berpartisipasi di bidang politik sebagai organisasi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

"Pendidikan politik bagi perempuan mutlak harus dilaksanakan oleh setiap Parpol secara terus menerus. Bukan hanya menjelang Pemilu atau Pilkada baru gencar melakukan sosialisasi ataupun menggelar pendidikan poltik," ujarnya.

Pendapat itu didukung Menteri PP dan PA Linda Amalia Sari Gumelar dengan berujar, parpol jangan  merekrut calon dari perempuan hanya untuk memenuhi kuota yang ditetapkan aturan Pemilu.

"Seharusnya, setelah pemilu, partai politik langsung merekrut calon perempuan untuk pemilu mendatang, jangan menjelang penetapan daftar calon sementara dan daftar calon tetap.

Sementara itu Ketua Koordinasi Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam, Dwi Ruby Kholifah menilai peran perempuan di parlemen masih sangat lemah. Selama lima tahun,  keberadaan mereka di parlemen masih belum dapat memetakan dan menentukan apa kebutuhan utama kaum perempuan yang harus segera diberi perhatian.

"Saat ini, wakil perempuan di parlemen belum mampu bertarung dengan situasi dan kondisi perpolitikan Indonesia yang didominasi oleh pria," katanya sambil mencontohkan target tujuan pembangunan milenium (MDG'S) tentang penekanan angka kematian ibu setelah melahirkan yang kian hari kian meningkat, hingga kini mencapai 359 kematian per 100.000 kelahiran.

"Harusnya, wakil perempuan kita di parlemen sadar dan peduli terhadap hal krusial itu. Namun, yang kita lihat justru tidak ada tindakan yang berarti dari mereka. Itu dikarenakan kuota 30 persen perempuan tidak benar-benar dijadikan aturan untuk menjaring kader-kader perempuan yang berkualitas,¿ katanya.

Banyak parpol menurut dia, tidak membekali caleg wanitanya dengan pengetahuan yang cukup ketika akan diajukan untuk mengisi kursi di parlemen. ¿Tidak dibekali dengan agenda setting yang tepat sehingga mereka tidak memiliki solusi yang tepat juga bagi suatu masalah."

Terkait mutu caleg perempuan dia berharap tidak asal memenuhi kuota 30 persen saja, namun memiliki program dan langkah yang tepat bagi masalah bangsa.  Perlu ada inisiasi tentang program yang akan diajukan ke caleg perempuan yang saat ini maju dalam pemilu oleh organisasi perempuan-perempuan di seluruh Indonesia.

Dengan melakukan langkah ini, kata Ruby, selain caleg tersebut mempunyai amunisi untuk bertempur di parlemen, juga akan ada solidaritas diantara perempuan sehingga tidak akan ada sekat  diantara perempuan di dalam maupun di luar parlemen.

Pengamat Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur, Frans Bapa Tokan, menilai pelibatan caleg perempuan oleh parpol masih sebatas pemenuhan kuota dan sangat formalistis. "Parpol belum serius melibatkan perempuan yang berkualitas untuk ditempatkan sebagai calon legilatif pada Pileg 9 April mendatang," katanya.

Parpol juga dinilainya belum jujur, melibatkan perempuan sebagai figur yang bisa diandalkan, selaku penyambung aspirasi dan kebutuhan masyarakat di lembaga legislatif nanti, katanya.

Buktinya, dari keseluruhan caleg perempuan yang dilibatkan parpol pada pileg 2014 hanya sekitar 10 persen yang memiliki kemampuan yang mumpuni, untuk bersaing dan akan menjadi wakil rakyat berkualitas. Selebihnya caleg yang tak punya kualitas dan hanya sekadar menuhi kuota sesuai dengan ketentuan.