Pengamat: Terjadi Penyimpangan Cita-Cita Reformasi

id REFORMASI

Namun, harus diakui bahwa dalam proses perjalanannya terjadi penyimpangan terhadap cita-cita reformasi, yaitu dengan memanfaatkan sarana kekuasaan untuk mencari keuntungan ekonomi, kata Syarief Makhya."
Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Pengamat politik dari Universitas Lampung Drs Syarief Makhya MSi menilai, setelah 14 tahun reformasi berjalan, telah terjadi penyimpangan dari cita-cita adanya perubahan dan perbaikan mendasar di Indonesia ini.

Menurut Syarief di Bandarlampung, Selasa, dalam banyak hal selama 14 tahun reformasi terjadi perubahan yang mendasar terutama di bidang politik dan hukum.

Namun, harus diakui bahwa dalam proses perjalanannya terjadi penyimpangan terhadap cita-cita reformasi, yaitu dengan memanfaatkan sarana kekuasaan untuk mencari keuntungan ekonomi, kata dia.

Ia menjelaskan, persoalan dasar yang dihadapi sekarang bahwa produk reformasi di bidang politik merupakan produk kompromi elit politik yang notabene tidak menciptakan suasana kehidupan politik yang mendukung terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan yang efektif bagi pencapaian penegakan hukum dan pembangunanan ekonomi.

Dalam cara pandang ini, ujar dia lagi, kemudian mereka yang menikmati kekuasaan cenderung mengalami disorientasi.

"Orientasinya, bukan lagi bagaimana menjalankan amanah kekuasaan dengan baik, tetapi telah bergeser pada kepentingan merebut dan melanggengkan kekuasaan dengan segala cara," ucapnya, menegaskan.

Secara terpisah, Rektor Informatics & Business Institute (IBI) Darmajaya, Andi Desfiandi menilai para reformis atau mereka yang mengaku reformis, mungkin salah dalam merancang reformasi itu.

Mereka mungkin berpikir demokrasi adalah tujuan dari cita-cita rakyat dan negara Indonesia, tuturnya.

Menurut Andi, tujuan dan cita-cita rakyat adalah kesejahteraan, keadilan, dan aman yang terangkum dalam amanah UUD 1945 dan Pancasila.

Sedangkan, demokrasi tersebut adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan negara itu, ujarnya.

Dia berpendapat, demokrasi, liberalisasi, komunisme, dan ideologi lainnya adalah pilihan politik dalam menjalankan pemerintahan sebuah negara, dan bukan tujuan dari sebuah negara.

"Kita sudah terhanyut dengan eforia demokratisasi yang digadang-gadang secara berlebihan oleh para reformis, yang ujungnya sebenarnya hanyalah perebutan atau pergantian kekuasaan semata," paparnya.

Sedangkan esensi dan tujuan utama kekuasaan yang seharusnya untuk kepentingan rakyat terabaikan, karena tujuannya hanya kekuasaan semata, ujar Andi, menambahkan.

"Sementara, kita belum siap dengan perubahan tersebut, dan ikut terhanyut dengan eforia semu yang sudah telanjur terjadi," katanya, menegaskan.

Namun, dia tetap berharap agar demokrasi yang sudah menjadi pilihan ini, kelak bisa menjadikan rakyat Indonesia mencapai tujuan seperti yang diamanahkan oleh UUD 1945 dan Pancasila.
   
             Benahi Substansi Demokratisasi
Sebelumnya, pengamat sosial politik FISIP Unila, Arizka Warganegara menilai pelaksanaan demokratisasi setelah 14 tahun reformasi bergulir secara formal telah berjalan baik, dan menghasilkan regulasi yang menata kekuasaan dengan baik.

Regulasi, seperti pembatasan masa jabatan presiden, pemilihan umum presiden secara langsung, pemilu kepala daerah langsung dan aturan demokratisasi lainnya telah ada dan dijalankan, kata dia.

Namun secara substansi demokrasi, menurut Arizka, masih banyak yang harus dibenahi, salah satunya adalah tidak adanya korelasi antara demokratisasi politik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Demokrasi adalah alat, sementara tujuannya adalah kesejahteraan rakyat selagi alat tersebut masih belum bisa 'mengcreate' kesejahteraan maka demokrasi yang diimplementasikan masih menjadi  tanda tanya," tuturnya.

Tapi dia mengingatkan, kondisi tersebut bukan berarti bangsa dan rakyat Indonesia harus kembali "setback" lagi dengan menghindari demokrasi, mengingat yang perlu dikoreksi adalah implementasi demokrasi sebagai dampak dari reformasi tersebut, termasuk dalam mencapai tujuan kesejahteraan rakyat melalui penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance).

"Salah satu yang masih mendapatkan nilai buruk dalam reformasi saat ini adalah penerapan 'good governance', korupsi yang masih merajalela, dan kecenderungan inefisiensi pemerintahan di pusat maupun daerah yang kerap amsih terjadi," tukasnya.

Padahal, menurut dia, sistem dan aturan yang ada sebenarnya sudah cukup memadai, namun seringkali kita sendiri yang tidak komit dan taat menjalankan aturan yang dibuat sendiri itu.